Selasa, 24 November 2015

Dasar – Dasar Pengolahan Hasil Perikanan



Dasar – Dasar Pengolahan Hasil Perikanan

Produk perikanan memiliki sumber nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh terutama kandungan proteinnya, dengan mengkonsumsi produk perikanan diharapkan kebutuhan protein intake masyarakat dapat terpenuhi.

Kandungan nutrisi seperti protein, lemak dan yang paling dominan pada ikan adalah air menjadikan  produk perikanan cepat busuk atau mudah rusak setelah dipanen / ditangkap. Kadar air yang tinggi pada ikan menjadikan media yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroba pembusuk maupun patogen. Selain dipengaruhi oleh faktor biologis (mikroba) kerusakan produk perikanan juga dapat disebabkan oleh proses kimiawi. Kadar lemak tinggi pada beberapa spesies ikan menyebabkan ikan cepat mengalami oksidasi (ketengikan), proses ini lebih cepat berlangsung apabila terdapat katalisator berupa udara, kenaikan suhu maupun dari logam yang berunsur besi maupun turunannya. Proses autolisa atau pembusukan yang disebabkan oleh enzim yang secara alamiah terdapat pada tubuh ikan.

Ikan mati proses metabolisme pada tubuh ikan tidak dapat berjalan seperti pada kondisi ikan hidup. Komponen makro nutrient seperti lemak dan protein akan terurai menjadi komponen yang lebih sederhana yang mengarah pada pembentukan komponen yang tidak dikehendaki seperti amonia penyebab bau busuk merupakan hasil perombakan protein. Penyebab pertama pembusukan ikan setelah mati tidak dapat diketahui, apakah proses pembusukan secara biologis ataukah kimiawi maupun autolisa yang terlebih dahulu tidak dapat dipastikan. Lebih detail proses kemunduran ikan dapat dilihat pada Biokimia Hasil Perikanan.

Dua aspek dari produk perikanan, 1) kandungan nutrisi yang baik bagi kesehatan dan 2) cepat mengalami pembusukan menjadikan manusia mengembangkan teknologi pengolahan produk perikanan agar produk perikanan dapat dimanfaatkan secara maksimal. Dengan demikian tujuan pengolahan hasil perikanan adalah :
1.  Mempertahankan dan memperpanjang daya awet produk sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Daya awet yang lebih lama menjadikan produk dapat didistribusikan ke berbagai daerah yang berjauhan dengan wilayah penghasil produk perikanan.
2.  Meningkatkan penerimaan produk, dengan adanya berbagai variasi hasil olahan produk perikanan menjadikan masyarakat mempunyai berbagai macam alternatif pilihan untuk mengkonsumsinya tanpa takut rasa “bosan”.
3.  Meningkatkan nilai gisi, komponen makro nutrient seperti lemak dan protein termasuk komponen dengan berat molekul yang besar dan panjang. Komponen – komponen tersebut dapat lebih mudah diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh dalam bentuk molekul yang lebih ringan atau menjadi komponen penyusunnya seperti asam amino (protein) dan asam lemak (lemak). Proses pengolahan menjadikan komponen protein dan lemak terurai menjadi komponen yang lebih sederhana atau komponen penyusunnya.

Pada prinsipnya pengolahan hasil perikanan dapat dikelompokkan menjadi pengolahan tradisional seperti pengeringan, penggaraman, pengasapan dan lain sebagainya serta teknologi pengolahan modern misalnya pengalengan, iradiasi, dan lain sebagainya.

Berdasarkan karakteristik atau sifat dasar teknologi pengolahan hasil perikanan dibedakan menjadi tiga jenis sebagai berikut :
1.  Fisikawi, pengolahan yang memanfaatkan sifat fisik seperti sinar matahari, suhu (suhu rendah maupun suhu tinggi), cahaya atau sinar (iradiasi).
2.  Kimiawi, pengolahan yang memanfaatkan bahan kimia seperti garam, gula, pengasapan, serta bahan pengasam.
3.  Biologi, memanfaatkan organisme maupun produk metabolisme organisme contohnya seperti fermentasi.
4.  Kombinasi dari ketiganya.

Masing-masing jenis pengolahan menghasilkan produk dengan karakteristik yang berbeda-beda baik dari segi sensoris maupun nilai nutrisinya. Setiap pengolahan tentunya mempunyai nilai positif atau negatif hal tersebut tentunya perlu diketahui oleh pengolah agar produk perikanan dapat dioptimalkan. Untuk itu, adanya pengetahuan tentang pengolahan hasil perikanan perlu diketahui baik oleh praktisi maupun stakeholder yang berkecimpung di bidang ini.

Sumber : Yanuar Prasetyo

Senin, 23 November 2015

PEMBEKUAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus)



PEMBEKUAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus)

 
RAJUNGAN

1.    Pendahuluan
Jenis kepiting yang populer sebagai bahan makanan dan mempunyai harga yang cukup mahal adalah Scylla serrata, dan jenis lain yang tidak kalah penting di pasaran adalah Portunus pelagicus yang biasa disebut rajungan (Bahar 2004).
Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan kepiting laut yang banyak terdapat di Perairan Indonesia yang biasa ditangkap di daerah Gilimanuk (pantai utara Bali), Pengambengan (pantai selatan Bali), Muncar (pantai selatan Jawa Timur), Pasuruan (pantai utara Jawa Timur), daerah Lampung, daerah Medan, dan daerah Kalimantan Barat. Rajungan telah lama diminati oleh masyarakat baik di dalam negeri maupun luar negeri, oleh karena itu harganya relatif mahal. Manfaat rajungan sebagai bahan pangan berupa daging rajungan kaleng yang berkualitas tinggi dan memiliki protein cukup tinggi (Suwignyo 1989).
Pengalengan daging rajungan ini menggunakan teknologi pengolahan secara pasteurisasi, yaitu suatu proses pengolahan yang mengoptimalkan proses termal sehingga dapat membunuh sebagian besar mikroba yang bersifat patogen tapi tidak semua mikroba dan biasanya menggunakan suhu di bawah 1000C. Tahapan proses pengalengan rajungan biasanya meliputi penerimaan, sortasi, pengecekan akhir bahan baku, pencampuran, pengisian daging, penimbangan, penutupan kaleng, pengkodean, pasteurisasi, pendinginan, pengemasan atau pengepakan, penyimpanan dingin, dan pengangkutan (Moeljanto 1992).
Pada pengalengan daging rajungan menggunakan kaleng plat timah. Menurut Julianti dan Nurminah (2007), plat timah (tin plate) adalah bahan yang digunakan untuk membuat kemasan kaleng, terdiri dari lembaran baja dengan pelapis timah. Kelebihan dari tin plate adalah mengkilap, kuat, tahan karat dan dapat disolder. Fungsi paling mendasar dari kemasan adalah untuk mewadahi dan melindungi produk dari kerusakan-kerusakan, sehingga lebih mudah disimpan, diangkut dan dipasarkan.
Produk akhir pengalengan daging rajungan pasteurisasi yang telah dikemas membutuhkan ruang penyimpanan yang dilengkapi dengan mesin pendingin untuk mempertahankan mutu produk sebelum produk diekspor. Ikan termasuk rajungan mengalami penurunan mutu dengan cepat dan waktu penyimpanan akan singkat jika ikan tidak ditangani dan disimpan secara tepat (Ranoemiharjo dan Soeyanto 1991). Penerapan teknologi refrigerasi (suhu rendah) pada dunia usaha perikanan atau industri perikanan sangat menguntungkan. Beberapa keuntungan tersebut antara lain: memperpanjang operasi pabrik pengolahan karena dapat menghimpun stok bahan baku pada waktu musim panen raya dan memperpanjang waktu penyimpanan dan memperluas jaringan distribusi (Ilyas 1983). Oleh karena itu perlu adanya pembahasan lebih lanjut mengenai pengemasan dan penyimpanan produk akhir pada pengalengan daging rajungan pasteurisasi.

2.    Klasifikasi dan Deskripsi Rajungan (Portunus pelagicus)
Klasifikasi lengkap dari Rajungan menurut Suwignyo (1989) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Sub Kingdom : Eumetazoa
Grade : Bilateria
Divisi : Eucoelomata
Section : Protostomia
Filum : Arthropoda
     Kelas : Crustacea
     Sub Kelas : Malacostraca
     Ordo : Decapoda
     Sub Ordo : Reptantia
     Seksi : Brachyura
     Sub Seksi : Branchyrhyncha
     Famili : Portunidae
     Sub Famili : Portunninae
     Genus : Portunus
     Spesies : Portunus pelagicus

            Rajungan bisa mencapai panjang 18 cm, capitnya kokoh, panjang dan berduri-duri. Pada hewan ini terlihat menyolok perbedaan antara jantan dan betina. Rajungan jantan mempunyai ukuran tubuh lebih besar dan capitnya lebih panjang daripada betina. Perbedaan lainnya adalah warna dasar, rajungan jantan berwarna kebiru-biruan dengan bercak-bercak putih terang, sedangkan betina berwarna dasar kehijau-hijauan dengan bercak-bercak putih agak suram. Perbedaan warna ini jelas pada individu yang agak besar walaupun belum dewasa (Suwignyo 1989).
            Rajungan mempunyai karapas berbentuk bulat pipih dengan warna yang sangat menarik. Ukuran karapas lebih besar ke arah samping dengan permukaan yang tidak terlalu jelas pembagian daerahnya. Sebelah kiri dan kanan karapasnya terdapat duri besar, jumlah duri sisi belakang matanya sebanyak 9, 6, 5 atau 4 dan antara matanya terdapat 4 buah duri besar. Rajungan mempunyai 5 pasang kaki jalan, yang pertama ukurannya cukup besar dan disebut capit yang berfungsi untuk memegang dan memasukkan makanan kedalam mulutnya. Sepasang kaki terakhir mengalami modifikasi menjadi alat renang yang ujungnya menjadi pipih dan membundar seperti dayung. Oleh sebab itu rajungan digolongkan kedalam kepiting berenang (swimming crab) (Suwignyo 1989).
            Portunus pelagicus adalah kepiting yang berenang dan mempunyai sepasang kaki renang yang dimodifikasi untuk mendayung. Karapasnya bertekstur kasar dan lebar yang mempunyai proyeksi tertinggi di setiap sudutnya. Capitnya panjang dan ramping. Rajungan merupakan binatang aktif, namun ketika sedang tidak aktif atau dalam keadaan tidak melakukan pergerakan, rajungan akan diam di dasar perairan sampai kedalaman 35 meter dan hidup membenamkan diri dalam pasir di daerah pantai berlumpur, hutan bakau, dan batu karang. Akan tetapi sekali-kali rajungan juga dapat terlihat berenang dekat permukaan
(Anonim 2007).
            Di Indonesia, rajungan tersebar hampir di seluruh perairan, khususnya di Perairan Paparan Sunda dan Perairan Laut Arafuru dengan memiliki kecenderungan padat sediaan dan potensi yang tinggi, terutama pada daerah sekitar pantai (Anonim 2007).

3.    Komposisi Kimia Rajungan (Portunus pelagicus)
Muchtadi dan Sugiyono (1992) menyatakan bahwa kandungan karbohidrat, kalsium, besi, phosphor, vitamin A dan vitamin B dari rata-rata kepiting dan rajungan berturut-turut adalah 14,1 %, 210 mg/100 g, 1,1 mg/100 g, 200 SI, dan 0,05 mg/100 g.
Daging kepiting dan rajungan mempunyai nilai gizi yang tinggi. Hasil analisa proksimat daging kepiting dan rajungan antara jantan dan betina (BBPMHP 1995) dapat dilihat pada Tabel 1.

            Tabel 1. Hasil analisa kimia daging kepiting dan rajungan
Jenis Komoditi
Protein (%)
Lemak (%)
Air (%)
Abu (%)
Kepiting
Betina
11.45
0.04
80.68
2.45
Jantan
11.90
0.28
82.85
1.08
Rajungan
Betina
16.85
0.10
78.78
2.04
Jantan
16.17
0.35
81.27
1.85
            Sumber : Laboratorium Kimia BBPMHP (1995) (Balai Bimbingan dan Pengujian
            Mutu Hasil Perikanan)

4.     Proses Pengalengan Rajungan
Menurut Philips Seafood (2005) dalam Akhmadi (2006), daging rajungan dapat digolongkan menjadi lima jenis daging (Gambar 2), yaitu:
a. Jumbo lump atau kolosal (daging putih) yang merupakan jaringan terbesar yang berhubungan dengan kaki renang.
b.    Backfin (daging putih) yang merupakan jumbo kecil dan pecahan dari daging jumbo.
c.    Special (daging putih) yang merupakan daging yang berada disekitar badan yang berupa serpihan-serpihan.
d.    Clawmeat (daging merah) yang merupakan daging dari bagian kaki sampai capit dari rajungan.
e.    Claw Finger (daging merah) yang merupakan bagian dari capit rajungan bersama dengan bagian shell yang dapat digerakkan.
Menurut BBPMHP (1995) daging rajungan yang diperoleh biasanya digolongkan menjadi tiga tingkatan mutu, yaitu:
a. Mutu 1 (daging super/jumbo), yaitu daging badan yang terletak di bagian bawah (berhubungan dengan kaki renang) berbentuk gumpalan besar berwarna putih.
b. Mutu 2 (daging reguler), yaitu daging badan yang berupa serpihan-serpihan, terletak disekat-sekat rongga badan berwarna putih.
c. Mutu 3 (daging merah/clawmeat), yaitu daging rajungan yang berada di kaki dan capit, berwarna putih kemerahan.

5. Proses Pengalengan Daging Rajungan
            Secara umum tahap-tahap pengalengan dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian meskipun untuk jenis ikan tertentu kemungkinan ada perbedaan atau variasi proses pengalengannya. Adapun tahap-tahap pengalengan ikan meliputi penyediaan dan pemilihan bahan baku, pengawetan sementara bahan mentah, penyiangan dan pencucian, pemasakan pendahuluan (precooking), pengisian dalam kaleng (filling), penghampaan udara (exhausting), penutupan kaleng, sterilisasi, dan pendinginan (Moeljanto 1992).
Pasteurisasi adalah pengolahan panas yang dirancang untuk menginaktifkan sebagian saja mikroorganisme vegetatif yang terdapat dalam pangan. Makanan yang tidak steril, dengan pasteurisasi sebagaimana pengukusan, harus juga digunakan bersamaan dengan cara pengawetan lainnya (Moeljanto 1992). Setelah pasteurisasi selesai, kaleng-kaleng dikeluarkan dari retort dan segera didinginkan. Apabila tidak didinginkan kemungkinan besar akan terjadi over cooking yang menyebabkan hangusnya daging. Tujuan lainnya adalah untuk memperoleh keseragaman (waktu dan suhu) dalam proses dan untuk mempertahankan mutu produk akhir, karena apabila pendinginan terlalu lambat, pertumbuhan spora bakteri tahan panas akan distimulir (Moeljanto 1992).
Penyimpanan suatu produk pada tingkat suhu rendah tujuannya adalah untuk mempertahankan semua faktor mutu dengan daya awet selama mungkin dalam batas daya awet dan biaya yang masih menguntungkan dan sesuai dengan yang diinginkan. Sistem penyimpanan pada cold storage yang paling baik adalah dengan sistem tiupan udara (air blast freezing), kelembaban relatifnya harus tetap dipertahankan antara 80-90%.

6.    Penyimpanan Dingin (Chill Storage)
            Pendinginan adalah penyimpanan bahan pangan di atas suhu pembekuan yaitu -2 sampai 100C. Meskipun air murni membeku pada suhu 00C, tetapi beberapa ada yang tidak membeku sampai -20C atau di bawahnya (Winarno dan Fardiaz 1973). Suhu pendinginan yang dapat memperlambat pertumbuhan atau aktivitas mikroorganisme atau mungkin membunuh beberapa bakteri, tetapi pendinginan maupun pembekuan tidak dapat digunakan untuk membunuh semua bakteri. Penyimpanan bahan makanan pada suhu rendah dapat mengakibatkan perubahan mutu. Pendinginan dapat berpengaruh terhadap rasa, tekstur, dan nilai gizi serta sifat-sifat lainnya (Winarno dan Fardiaz 1973).
Penggunaan blast freezer sebagai penyimpanan dingin pada ruang penyimpanan produk akhir tergantung pada tipe dan volume produk yang disimpan sebagai kunci utama untuk menentukan kecepatan pendinginan yang dibutuhkan selama penyimpanan. Suhu rendah yang diperlukan pada blast freezer dimana infiltrasi panas harus terjaga pada level yang sangat rendah dengan tujuan mengurangi kristal es yang terbentuk. Oleh karena itu, digunakan pintu ruangan pendingin berinsulator yang dirancang dengan baik untuk mencegah terjadinya kebocoran suhu yang dikombinasikan dengan konstruksi ruangan berinsulator yang sesuai agar aplikasi mesin blast freezer dapat efektif (Anonim 2008).
Pola penyusunan penyimpanan produk akhir dapat dengan menggunakan Pallet Racking System, yang digunakan agar produk disusun dan disimpan secara sistematis sehingga memudahkan ketika pembongkaran ataupun ketika pengambilan sampel. Pallet racking system ini disesuaikan dengan tipe dan volume produk, kapasitas ruangan, bagaimana produk disimpan, dan frekuensi penyusunan secara perputaran ataupun urutan untuk akses penyimpanan produk (Anonim 2008). Penggunaan fasilitas ruang pendingin sebagai gudang penyimpanan produk akhir harus memperhatikan tipe produk dan toleransinya terhadap perubahan suhu secara fluktuatif yang mungkin terjadi selama penyimpanan dalam chill storage. Penentuan penggunaan pintu berinsulator berdasarkan tipe, ukuran, lokasi ruang pendingin juga dapat menambah efisiensi operasi ruang pendingin (Anonim 2008).

Sumber : Suhirman dan berbagai sumber