Sabtu, 27 Januari 2018

HISTAMIN DALAM PRODUK PERIKANAN



HISTAMIN DALAM PRODUK PERIKANAN


1.    Latar Belakang
Histamin merupakan zat kimia berbahaya bagi kesehatan yang bertindak sebagai causative agent pada scombroid poisoning. Namun Sakit yang ditimbulkan oleh histamin biasanya tidak berlangsung lama dan merupakan sakit yang ringan atau sering disebut dengan alergi (Kim et al., 2002). U.S. Food and Drug Administration melaporan bahwa salah satu penyebab refusal terhadap produk-produk perikanan dari Indonesia adalah adanya kandungan histamin yang melebihi  50 ppm.
Gejala keracunan yang disebabkan oleh histamin umumnya dimulai 1 jam setelah masuknya toksin. Gejala tersebut berupa mual, muntah, perut mengejang, diare dan sakit kepala. Gejala lain yang timbul akibat racun ini yaitu gatal-gatal, kulit berbintik-bintik merah yang disertai demam (Kim et al., 2002).
Pembentukan histamin yang optimum berlangsung pada suhu 25-38oC, yang dimulai dari 6 jam setelah ikan mengalami kematian. Pada produk perikanan yang disimpan dalam kondisi beku, proses dekarboksilasi histidin masih terjadi, namun tidak menghasilkan histamin yang melewati batas membahayakan (50 ppm). Histamin juga terbentuk selama proses fermentasi produk perikanan. Pembentukan histamin pada produk fermentasi dapat dihambat dengan bakteriosin dari bakteri asam laktat yang digunakan sebagai starter selama proses fermentasi.

2. Histamin pada Daging Ikan
2.1.  Pembentukan Histamin pada Daging Ikan
Tingginya kandungan histidin bebas pada daging ikan berkorelasi positif terhadap kandungan histamin pada daging ikan tersebut. Yoshinaga dan Frank (1982) menyatakan bahwa kandungan histamin pada daging ikan menyebar secara tidak merata. Kadar histidin bebas paling besar terdapat pada bagian anterior ikan dan agak berkurang ke bagian posterior, sehingga menyebabkan kandungan histamin pada bagian anterior umumnya lebih besar dari pada bagian posterior.
Selain histidin bebas yang terdapat pada daging ikan, kandungan histamin juga dipengaruhi oleh aktivitas enzim histidine decarboxylase (HDC) yang terdapat pada bagian intestinal ikan. Namun pada umumnya aktivitas dekarboksilasi histidin menjadi histamin lebih banyak dilakukan oleh bakteri dari pada oleh enzim dari ikan itu sendiri. Bakteri yang mampu merombak histidin menjadi histamin adalah bakteri histidine decarboxylase positive yang juga mempunyai kemampuan menghasilkan enzim histidine decarboxylase (Yoshinaga dan Frank, 1982).
                Reaksi perombakan histidin menjadi histamin dilakukan oleh enzim histidine decarboxylase. Histamin dibentuk oleh bakteri sebagai hasil metabolit sekunder untuk penyeimbang kondisi lingkungan yang semakin asam bagi pertumbuhannya. Diantara bakteri yang dapat  menghasilkan histamin adalah Morganella morganii, Lactobacillus buchneri, Lactobacillus 30a, Clostridium perfingens, Micrococcus spp,  Klesbiella pneumoniae, Enterobacter aerogenes, Vibrio anguillarum dan Hafnia alvei (Kim et al., 2002).
Perombakan histidin menjadi histamin berlangsung secara intraseluler. Histidin bebas masuk ke dalam sel bakteri melalui sistem transportasi aktif. Masuknya histidin bebas yang bermuatan positif kedalam sel menyebabkan proton gradien sehingga menimbulkan energi. Proses perombakan histidin menjadi histamin juga menimbulkan energi pada histamine patway. Namun besarnya energi yang dihasilkan dari proses pembentukan histamin belum diketahui secara pasti. Selain sebagai penghasil energi, histamin yang disekresikan keluar sel akan menyebabkan naiknya pH lingkungan karena histamin bersifat alkalis (basa).  Sehingga kondisi lingkungan yang semakin asam akibat proses dekomposisi (pembusukan) maupun proses fermentasi dapat dieliminasi dengan adanya histamin (Molenaar et al., 1993).
2.2.  Kandungan Histamin pada Ikan 
Ikan yang banyak mengandung histamin adalah  golongan scombroidae, karena pada jaringan daging merahnya banyak mengandung asam amino histidin bebas.  Tuna, tongkol, tenggiri, dan kembung merupakan golongan ikan scombroidae. Beberapa golongan ikan non-scombroidae juga diindikasikan mengandung histamin, yaitu mahi-mahi, sardin, dan salmon (Kim et al., 2002).
Ikan scombroid dalam kondisi segar, tidak mengandung histamin pada jaringan dagingnya. Setelah ikan mengalami kematian menuju kondisi post mortem, dekarboksilasi histidin bebas akan terjadi sehingga menghasilkan histamin.
Selain terdapat pada daging ikan segar, histamin juga terdapat pada produk-produk fermentasi hasil perikanan seperti peda, pindang, dan terasi. Hal ini menunjukan bahwa selama proses fermentasi juga terjadi perombakan histidin menjadi histamin.

2.3. Perubahan Kandungan Histamin pada Produk Perikanan
2.3.1. Perubahan Kandungan Histamin pada Ikan Segar
Pembentukan histamin di dalam jaringan daging ikan seiring dengan penambahan jumlah bakteri pembentuk histamin pada ikan tersebut. Semakin banyak kandungan bakteri pada ikan maka kemungkinan kandungan histamin semakin besar. Sebagian besar bakteri pembentuk histamin pada ikan berasal dari kulit, insang, dan bagian intestinal ikan sebagai normal flora.
Kemampuan bakteri untuk tumbuh dan membentuk histamin pada daging ikan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan media tempat tumbuh. Suhu yang optimum untuk pertumbuhan dan pembentukan histamin pada beberapa bakteri berkisar antara 25-38oC. Pada spesies ikan yang berbeda, jenis bakteri yang membentuk histamin juga berbeda. Yoshinaga dan Frank (1982) menyatakan bahwa pada ikan cakalang (Skipjack Tuna) tidak ditemukan Morganela morganii sebagai bakteri paling banyak membentuk histamin pada beberapa ikan golongan scombroidae. Sebagian besar bakteri pembentuk histamin yang tumbuh pada skipjack tuna  adalah golongan fakultatif maupun obligat anaerobik. Ini disebabkan karena setelah mengalami kematian, jaringan daging ikan bersifat anaerobik. Clostridium perfingens  merupakan bakteri paling dominan membentuk histamin pada ikan skipjack tuna. 
Pada suhu 38oC, histamin terbentuk setelah ikan disimpan selama 6 sampai 12 jam dan terus mengalami peningkatan. Adanya histamin setelah 6 jam penyimpanan menunjukan bahwa daging ikan pada awalnya tidak mengandung histamin. Selain itu histamin terbentuk ketika pH daging ikan semakin rendah akibat adanya dekomposisi berbagai senyawa kimia dari kegiatan enzimatis dan bakteri pada daging ikan.
Clostridium perfingens mempunyai kemampuan membentuk histamin paling besar bila dibandingkan dengan bakteri lainnya pada media TFIB dari skipjack tuna. Pada jenis ikan yang berbeda kemampuan pembentukan histamin juga berbeda. Hal ini sangat dipengaruhi oleh habitat bakteri sebelumnya sebagai normal microflora  pada berbagai jenis ikan, serta kandungan histidin bebas pada jaringan daging ikan.
Kosentrasi histidin minimum yang dapat digunakan untuk aktivitas histidine decarboxylase adalah 100 sampai 200 mg/100g sampel. Ikan mackerel mempunyai kandungan histidin bebas sebesar 210 sampai 726 mg/100g. Ikan mahi-mahi mempunyai kandungan histidin bebas sebesar 182-541mg/100g dan pada tuna sebesar 220-708mg/100g daging ikan (Kim et al., 2002).
Morganella morganii sebagai bakteri yang diindikasikan paling besar membentuk histamin pada ikan golongan scombroidae juga mempunyai kemampuan pembentukan histamin yang berbeda pada berbagai jenis ikan.  Pada ikan mackerel, Morganella morganii paling besar membentuk histamin dengan berbagai variasi suhu. Pada suhu 25 sampai 37­oC proses pembentukan histamin berlangsung sangat cepat. Hal ini seiring dengan pertumbuhan bakteri yang juga optimal pada suhu tersebut. Sedangkan pada suhu 15oC pembentukan histamin mulai terhambat, pada suhu di bawah 4oC pembentukan histamin tidak lebih dari 8mg/100g daging ikan. Oleh karena itu suhu di bawah 4oC  merupakan suhu yang direkomendasikan dalam penanganan ikan segar agar pembentukan histamin dapat dikurangi (Mahendradatta, 2003).
2.3.2.  Perubahan Kandungan Histamin pada Ikan Beku
Pertumbuhan bakteri pada ikan yang disimpan dalam keadaan beku sangat terhambat, bahkan cenderung mengalami penurunan. Menurut  Kim et al., pada suhu -30oC, Morganella morganii yang awalnya berjumlah 106koloni/g daging ikan menurun menjadi 104koloni/g pada ikan mackerel, albacore, mahi-mahi dan salmon yang disimpan selama 3 bulan.
Mahendradataa (2003) menyatakan bahwa burger yang dibuat dari ikan cakalang (skipjack tuna) dan disimpan pada suhu 0oC selama 4 minggu, kandungan histaminnya terus mengalami peningkatan dari 0,755 menjadi 8,196 mg/ 100 g sampel. Hal ini menunjukan bahwa aktivitas perombakan oleh enzim histidine decarboxylase (HDC) terus berjalan walaupun bakteri yang terdapat pada produk terhambat pertumbuhannya.
2.3.3.  Perubahan Kandungan Histamin pada Produk Fermentasi
Produk fermentasi ikan yang dibuat secara tradisional biasanya mengandung histamin yang cukup tinggi. Sarnianto et al. dalam Heruwati (2002) menyatakan bahwa kandungan histamin pada ikan peda sebesar 107-133mg/100g sampel. Menurut Brillantes (2002) saus ikan yang dibuat secara tradisional dari bahan baku (ikan) yang kurang peng-esan dengan fermentasi selama 12 bulan memiliki kandungan histamin yang berkisar antara 145-374 ppm. Sedangkan saus ikan yang dibuat dari ikan yang segar dengan pengesan yang baik mengandung histamin antara 22-159 ppm selama 12 bulan. Hal ini menunjukan bahwa besarnya kandungan histamin pada produk fermentasi juga dipengaruhi oleh kesegaran bahan baku sebelum fermentasi. Selain itu, peningkatan kandungan histamin selama proses fermentasi mengindikasikan adanya kativitas karboksilasi histidin menjadi histamin yang dilakukan oleh enzim ataupun bakteri pada ikan selama berlangsungnya proses fermentasi .
Beberapa bakteri tahan garam selain berfungsi dalam proses fermentasi juga menghasilkan histamin. Beutling (1996) dalam Mahendradataa (2003) melaporkan bahwa pada kosentrasi garam 10-15% beberapa bakteri famili Staphylococcus, Vibrio,  dan  Pseudomonas  mempunyai kemampuan pembentuk histamin. Selain itu Lactobacillus buchneri dan Lactobachillus 30a sebagai bakteri yang berperan dalam pembentukan asam laktat juga menghasilkan histamin pada kondisi media yang semakin asam (ph< 4).

2.4.  Pencegahan Pembentukan Histamin
Pada kondisi suhu ruang antara 25-38oC bakteri pembentuk histamin tumbuh dengan pesat, demikian pula dengan proses dekarboksilasi histidin menjadi histamin. Oleh karena itu FDA merekomendasikan pendinginan cepat dipergunakan setelah ikan mengalami kematian agar pertumbuhan bakteri dan pembentukan histamin dapat dihambat. Penanganan terhadap ikan setelah mengalami kematian harus menggunakan suhu  dibawah 40oF (4,4oC) selama 12 jam atau pada suhu 50oF (10oC) selama 9 jam.
Pada produk-produk fermentasi hasil perikanan, kandungan histamin cenderung terus mengalami peningkatan selama proses fermentasi. Hal ini diindikasikan adanya bakteri tahan garam (halophilik/halotoleran) yang selama proses fermentasi menghasilkan histamin. Diantara bakteri yang tumbuh pada saat fermentasi adalah Lactobacillus buchneri, Lactobachillus 30a, Staphylococcus, Vibrio,  dan  Pseudomonas. Joosten dan Nunez (1996) melaporkan bahwa Lactococcus lactis menghasilkan bakteriosin (nisin) yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembentukan histamin pada proses pembuatan keju. Lactococcus lactic merupakan bakteri asam laktat yang berperan dalam proses fermentasi. Rinto et,al., (2006), melaporkan bahwa Pediococcus acidilactici F-11 dapat menekan terbentuknya histamin selama proses fermentasi peda. Hal ini disebabkan karena Pediococcus acidilactici F-11 menghasilkan bakteriosin yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri halofilik yang membentuk histamin.
Histidine decarboxylase (HDC) merupakan enzim pada beberapa bakteri yang berperan dalam perombakan histidin menjadi histamin. Aktivitas enzim HDC dipengaruhin oleh suhu dan pH. Suhu 20oC merupakan suhu optimum bagi proses katalitik enzim HDC. Peningkatan suhu sampai diatas 40oC menyebabkan aktivitas enzim berkurang. Sedangkan kisaran nilai pH 4 merupakan  pH optimum bagi aktivitas enzim. Pada pH netral atau alkalin aktivitas enzim cenderung menurun, bersamaan dengan peningkatan nilai enzim HDC. Pengurangan aktivitas enzim juga dapat dilakukan dengan mutasi ataupun penambahan asam amino yang menyusun rangkaian polipeptidanya.

Sumber : Berbagai Sumber


0 komentar:

Posting Komentar