HISTAMIN DALAM PRODUK PERIKANAN
1.
Latar
Belakang
Histamin
merupakan zat kimia berbahaya bagi kesehatan yang bertindak sebagai causative
agent pada scombroid poisoning. Namun Sakit yang ditimbulkan oleh
histamin biasanya tidak berlangsung lama dan merupakan sakit yang ringan atau
sering disebut dengan alergi (Kim et al., 2002). U.S. Food and Drug
Administration melaporan bahwa salah satu penyebab refusal terhadap produk-produk perikanan dari Indonesia
adalah adanya kandungan histamin yang melebihi
50 ppm.
Gejala
keracunan yang disebabkan oleh histamin umumnya dimulai 1 jam setelah masuknya
toksin. Gejala tersebut berupa mual, muntah, perut
mengejang, diare dan sakit kepala. Gejala lain yang timbul akibat racun
ini yaitu gatal-gatal, kulit berbintik-bintik merah yang disertai demam (Kim et
al., 2002).
Pembentukan
histamin yang optimum berlangsung pada suhu 25-38oC, yang dimulai
dari 6 jam setelah ikan mengalami kematian. Pada produk perikanan yang disimpan
dalam kondisi beku, proses dekarboksilasi histidin masih terjadi, namun tidak
menghasilkan histamin yang melewati batas membahayakan (50 ppm). Histamin juga
terbentuk selama proses fermentasi produk perikanan. Pembentukan histamin pada
produk fermentasi dapat dihambat dengan bakteriosin dari bakteri asam laktat
yang digunakan sebagai starter selama proses fermentasi.
2.
Histamin pada Daging Ikan
2.1. Pembentukan Histamin pada Daging Ikan
Tingginya
kandungan histidin bebas pada daging ikan berkorelasi positif terhadap
kandungan histamin pada daging ikan tersebut. Yoshinaga dan Frank (1982)
menyatakan bahwa kandungan histamin pada daging ikan menyebar secara tidak
merata. Kadar histidin bebas paling besar terdapat pada bagian anterior ikan
dan agak berkurang ke bagian posterior, sehingga menyebabkan kandungan histamin
pada bagian anterior umumnya lebih besar dari pada bagian posterior.
Selain
histidin bebas yang terdapat pada daging ikan, kandungan histamin juga
dipengaruhi oleh aktivitas enzim histidine decarboxylase (HDC) yang
terdapat pada bagian intestinal ikan. Namun pada umumnya aktivitas
dekarboksilasi histidin menjadi histamin lebih banyak dilakukan oleh bakteri
dari pada oleh enzim dari ikan itu sendiri. Bakteri yang mampu merombak
histidin menjadi histamin adalah bakteri histidine decarboxylase positive
yang juga mempunyai kemampuan menghasilkan enzim histidine decarboxylase (Yoshinaga
dan Frank, 1982).
Reaksi
perombakan histidin menjadi histamin dilakukan oleh enzim histidine
decarboxylase. Histamin dibentuk oleh bakteri sebagai hasil metabolit
sekunder untuk penyeimbang kondisi lingkungan yang semakin asam bagi
pertumbuhannya. Diantara bakteri yang dapat
menghasilkan histamin adalah Morganella morganii, Lactobacillus
buchneri, Lactobacillus 30a, Clostridium perfingens, Micrococcus spp, Klesbiella pneumoniae, Enterobacter
aerogenes, Vibrio anguillarum dan Hafnia alvei (Kim et al., 2002).
Perombakan
histidin menjadi histamin berlangsung secara intraseluler. Histidin bebas masuk
ke dalam sel bakteri melalui sistem transportasi aktif. Masuknya histidin bebas
yang bermuatan positif kedalam sel menyebabkan proton gradien sehingga menimbulkan
energi. Proses perombakan histidin menjadi histamin juga menimbulkan energi
pada histamine patway. Namun besarnya energi yang dihasilkan dari proses
pembentukan histamin belum diketahui secara pasti. Selain sebagai penghasil
energi, histamin yang disekresikan keluar sel akan menyebabkan naiknya pH
lingkungan karena histamin bersifat alkalis (basa). Sehingga kondisi lingkungan yang semakin asam
akibat proses dekomposisi (pembusukan) maupun proses fermentasi dapat
dieliminasi dengan adanya histamin (Molenaar et al., 1993).
2.2. Kandungan Histamin pada Ikan
Ikan yang
banyak mengandung histamin adalah
golongan scombroidae, karena pada jaringan daging merahnya banyak
mengandung asam amino histidin bebas.
Tuna, tongkol, tenggiri, dan kembung merupakan golongan ikan
scombroidae. Beberapa golongan ikan non-scombroidae juga diindikasikan
mengandung histamin, yaitu mahi-mahi, sardin, dan salmon (Kim et al.,
2002).
Ikan scombroid
dalam kondisi segar, tidak mengandung histamin pada jaringan dagingnya.
Setelah ikan mengalami kematian menuju kondisi post mortem,
dekarboksilasi histidin bebas akan terjadi sehingga menghasilkan histamin.
Selain
terdapat pada daging ikan segar, histamin juga terdapat pada produk-produk
fermentasi hasil perikanan seperti peda, pindang, dan terasi. Hal ini
menunjukan bahwa selama proses fermentasi juga terjadi perombakan histidin
menjadi histamin.
2.3.
Perubahan Kandungan Histamin pada Produk Perikanan
2.3.1.
Perubahan Kandungan Histamin pada Ikan Segar
Pembentukan
histamin di dalam jaringan daging ikan seiring dengan penambahan jumlah bakteri
pembentuk histamin pada ikan tersebut. Semakin banyak kandungan bakteri pada
ikan maka kemungkinan kandungan histamin semakin besar. Sebagian besar bakteri
pembentuk histamin pada ikan berasal dari kulit, insang, dan bagian intestinal
ikan sebagai normal flora.
Kemampuan
bakteri untuk tumbuh dan membentuk histamin pada daging ikan sangat dipengaruhi
oleh kondisi lingkungan dan media tempat tumbuh. Suhu yang optimum untuk
pertumbuhan dan pembentukan histamin pada beberapa bakteri berkisar antara
25-38oC. Pada spesies ikan yang berbeda, jenis bakteri yang
membentuk histamin juga berbeda. Yoshinaga dan Frank (1982) menyatakan bahwa
pada ikan cakalang (Skipjack Tuna) tidak ditemukan Morganela morganii
sebagai bakteri paling banyak membentuk histamin pada beberapa ikan golongan scombroidae.
Sebagian besar bakteri pembentuk histamin yang tumbuh pada skipjack tuna adalah golongan fakultatif maupun obligat
anaerobik. Ini disebabkan karena setelah mengalami kematian, jaringan daging
ikan bersifat anaerobik. Clostridium perfingens merupakan bakteri paling dominan membentuk
histamin pada ikan skipjack tuna.
Pada suhu
38oC, histamin terbentuk setelah ikan disimpan selama 6 sampai 12
jam dan terus mengalami peningkatan. Adanya histamin setelah 6 jam penyimpanan
menunjukan bahwa daging ikan pada awalnya tidak mengandung histamin. Selain itu
histamin terbentuk ketika pH daging ikan semakin rendah akibat adanya
dekomposisi berbagai senyawa kimia dari kegiatan enzimatis dan bakteri pada
daging ikan.
Clostridium
perfingens mempunyai kemampuan membentuk histamin paling besar bila
dibandingkan dengan bakteri lainnya pada media TFIB dari skipjack tuna.
Pada jenis ikan yang berbeda kemampuan pembentukan histamin juga berbeda. Hal
ini sangat dipengaruhi oleh habitat bakteri sebelumnya sebagai normal
microflora pada berbagai jenis ikan,
serta kandungan histidin bebas pada jaringan daging ikan.
Kosentrasi histidin
minimum yang dapat digunakan untuk aktivitas histidine decarboxylase
adalah 100 sampai 200 mg/100g sampel. Ikan mackerel mempunyai kandungan
histidin bebas sebesar 210 sampai 726 mg/100g. Ikan mahi-mahi mempunyai
kandungan histidin bebas sebesar 182-541mg/100g dan pada tuna sebesar
220-708mg/100g daging ikan (Kim et al., 2002).
Morganella morganii
sebagai bakteri yang diindikasikan paling besar membentuk histamin pada ikan
golongan scombroidae juga mempunyai kemampuan pembentukan histamin yang
berbeda pada berbagai jenis ikan. Pada
ikan mackerel, Morganella morganii paling besar membentuk
histamin dengan berbagai variasi suhu. Pada suhu 25 sampai 37oC
proses pembentukan histamin berlangsung sangat cepat. Hal ini seiring dengan
pertumbuhan bakteri yang juga optimal pada suhu tersebut. Sedangkan pada suhu
15oC pembentukan histamin mulai terhambat, pada suhu di bawah 4oC
pembentukan histamin tidak lebih dari 8mg/100g daging ikan. Oleh
karena itu suhu di bawah 4oC
merupakan suhu yang direkomendasikan dalam penanganan ikan segar agar
pembentukan histamin dapat dikurangi (Mahendradatta, 2003).
2.3.2. Perubahan Kandungan Histamin pada Ikan Beku
Pertumbuhan bakteri
pada ikan yang disimpan dalam keadaan beku sangat terhambat, bahkan cenderung
mengalami penurunan. Menurut Kim et
al., pada suhu -30oC, Morganella morganii yang awalnya
berjumlah 106koloni/g daging ikan menurun menjadi 104koloni/g
pada ikan mackerel, albacore, mahi-mahi dan salmon yang disimpan selama
3 bulan.
Mahendradataa (2003)
menyatakan bahwa burger yang dibuat dari ikan cakalang (skipjack tuna)
dan disimpan pada suhu 0oC selama 4 minggu, kandungan histaminnya
terus mengalami peningkatan dari 0,755 menjadi 8,196 mg/ 100 g sampel. Hal ini
menunjukan bahwa aktivitas perombakan oleh enzim histidine decarboxylase (HDC)
terus berjalan walaupun bakteri yang terdapat pada produk terhambat
pertumbuhannya.
2.3.3. Perubahan Kandungan Histamin pada Produk
Fermentasi
Produk fermentasi ikan
yang dibuat secara tradisional biasanya mengandung histamin yang cukup tinggi.
Sarnianto et al. dalam Heruwati (2002) menyatakan bahwa kandungan
histamin pada ikan peda sebesar 107-133mg/100g sampel. Menurut Brillantes
(2002) saus ikan yang dibuat secara tradisional dari bahan baku (ikan) yang
kurang peng-esan dengan fermentasi selama 12 bulan memiliki kandungan histamin
yang berkisar antara 145-374 ppm. Sedangkan saus ikan yang dibuat dari ikan
yang segar dengan pengesan yang baik mengandung histamin antara 22-159 ppm
selama 12 bulan. Hal ini menunjukan bahwa besarnya kandungan histamin pada
produk fermentasi juga dipengaruhi oleh kesegaran bahan baku sebelum
fermentasi. Selain itu, peningkatan kandungan histamin selama proses fermentasi
mengindikasikan adanya kativitas karboksilasi histidin menjadi histamin yang
dilakukan oleh enzim ataupun bakteri pada ikan selama berlangsungnya proses
fermentasi .
Beberapa bakteri tahan
garam selain berfungsi dalam proses fermentasi juga menghasilkan histamin.
Beutling (1996) dalam Mahendradataa (2003) melaporkan bahwa pada kosentrasi
garam 10-15% beberapa bakteri famili Staphylococcus, Vibrio, dan Pseudomonas mempunyai kemampuan pembentuk histamin. Selain
itu Lactobacillus buchneri dan Lactobachillus 30a sebagai bakteri
yang berperan dalam pembentukan asam laktat juga menghasilkan histamin pada
kondisi media yang semakin asam (ph< 4).
2.4.
Pencegahan Pembentukan Histamin
Pada kondisi suhu
ruang antara 25-38oC bakteri pembentuk histamin tumbuh dengan pesat,
demikian pula dengan proses dekarboksilasi histidin menjadi histamin. Oleh
karena itu FDA merekomendasikan pendinginan cepat dipergunakan setelah ikan
mengalami kematian agar pertumbuhan bakteri dan pembentukan histamin dapat dihambat.
Penanganan terhadap ikan setelah mengalami kematian harus menggunakan suhu dibawah 40oF (4,4oC)
selama 12 jam atau pada suhu 50oF (10oC) selama 9 jam.
Pada produk-produk
fermentasi hasil perikanan, kandungan histamin cenderung terus mengalami peningkatan
selama proses fermentasi. Hal ini diindikasikan adanya bakteri tahan garam (halophilik/halotoleran)
yang selama proses fermentasi menghasilkan histamin. Diantara bakteri yang
tumbuh pada saat fermentasi adalah Lactobacillus buchneri, Lactobachillus
30a, Staphylococcus, Vibrio, dan Pseudomonas. Joosten dan Nunez (1996)
melaporkan bahwa Lactococcus lactis menghasilkan bakteriosin (nisin)
yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembentukan histamin pada
proses pembuatan keju. Lactococcus lactic merupakan bakteri asam laktat
yang berperan dalam proses fermentasi. Rinto et,al., (2006), melaporkan
bahwa Pediococcus acidilactici F-11 dapat menekan terbentuknya histamin
selama proses fermentasi peda. Hal ini disebabkan karena Pediococcus
acidilactici F-11 menghasilkan bakteriosin yang dapat menghambat
pertumbuhan bakteri-bakteri halofilik yang membentuk histamin.
Histidine
decarboxylase (HDC) merupakan enzim pada beberapa bakteri yang berperan dalam
perombakan histidin menjadi histamin. Aktivitas enzim HDC dipengaruhin oleh
suhu dan pH. Suhu 20oC merupakan suhu optimum bagi proses katalitik
enzim HDC. Peningkatan suhu sampai diatas 40oC menyebabkan aktivitas
enzim berkurang. Sedangkan kisaran nilai pH 4 merupakan pH optimum bagi aktivitas enzim. Pada pH netral
atau alkalin aktivitas enzim cenderung menurun, bersamaan dengan peningkatan
nilai enzim HDC. Pengurangan aktivitas enzim juga dapat dilakukan dengan mutasi
ataupun penambahan asam amino yang menyusun rangkaian polipeptidanya.
Sumber : Berbagai Sumber
0 komentar:
Posting Komentar