Sabtu, 27 Januari 2018

KEAMANAN PANGAN DALAM PENGENDALIAN MUTU HASIL PERIKANAN



KEAMANAN PANGAN DALAM
PENGENDALIAN MUTU HASIL PERIKANAN


1.    Latar Belakang
Ikan dan produk perikanan merupakan salah satu sumber pangan yang sangat penting bagi masyarakat dunia. Diperkirakan konsumsi ikan secara global di masa yang akan datang akan makin meningkat karena beberapa faktor, di antaranya meningkatnya jumlah penduduk serta pendapatan masyarakat dunia; meningkatnya apresiasi terhadap makanan sehat atau healthy food (di antarannya ditandai dengan rendahnnya kandungan kolesterol dan tingginya asam lemak tak jenuh ganda omega-3 serta komposisi asam amino yang lebih lengkap), sehingga mendorong perubahan pola konsumsi daging dari red meat ke white meat; adanya globalisasi yang menuntut adanya makanan yang bersifat universal semisal ikan. (Tampubolon, 2009). Sebelum ikan menjadi produk makanan yang bersifat universal, maka produk perikanan harus melalui persyaratan jaminan mutu yang ketat yang juga bersifat universal atau berlaku di seluruh dunia.
Sebagai produk pangan, ikan tetap dapat menyebabkan permasalahan kesehatan. Ikan dan produk perikanan dapat terkontaminasi sejak dari proses penangkapan / pembudidayaan sampai dengan sesaat sebelum dimakan. Kemungkinan terjadinya kontaminasi pada ikan dan produk perikanan telah mendorong setiap negara untuk melindungi konsumen dengan mengeluarkan kebijakan berupa peraturan dan standar mutu, dimana setiap produk perikanan yang diekspor harus bisa memenuhi persyaratan peraturan-peraturan dan standar mutu di negara tujuan ekspor. Demikian pula sebaliknya, produk perikanan asing yang masuk ke Indonesia harus juga bisa memenuhi peraturan-peraturan dan standar mutu produk di Indonesia.
Beberapa negara yang merupakan produsen utama produk perikanan budidaya. Vietnam, Indonesia, Thailand, Chile, Filipina, Jepang, Amerika Serikat, Republik Korea dan Cina Taipei.

2.   Keamanan Pangan
Menurut Undang-undang Republik Indonesia no. 18/2012 tentang pangan, bahwa keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, sehingga aman untuk dikonsumsi.
Pangan yang tidak aman akan menyebabkan penyakit yang disebut foodborne disease, yaitu segala penyakit yang timbul akibat mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan atau senyawa beracun atau organisme patogen

2.1.  Penyebab Ketidakamanan Pangan
Penyebab ketidakamanan pangan adalah (Baliwati, dkk, 2004):
1.    Segi gizi, jika kandungan gizinya berlebihan yang dapat menyebabkan berbagai penyakit degeneratif seperti jantung, kanker, diabetes.
2.    Segi kontaminasi, jika pangan terkontaminasi oleh mikroorganisme ataupun bahan-bahan kimia.
Penyebab pangan tersebut berbahaya karena, makanan tersebut dicemari zat-zat yang membahayakan kehidupan dan juga karenan didalam makanan itu sendiri telah terdapat zat-zat yang membahayakan kesehatan (Azwar, 1995). Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Sedangkan mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar criteria keamanan pangan, kandungan gizi dan standar perdagangan terhadap bahan makanan dan minuman.
Dalam menanggapi masalah keamanan pangan yang terkait dengan makanan hasil laut, produk ini harus memenuhi standar yang semakin ketat untuk memastikan mutu dan keamanannya.

2.2.  Standar Pangan
Standar pangan umumnya berasal dari Standar Sektor Publik, yang meliputi hukum dan peraturan pangan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Tergantung pada negara, peraturan dapat lebih spesifik sesuai negara itu sendiri, atau berpotensi diterapkan disuatu wilayah (misalnya Uni Eropa) atau blok perdagangan. Negara-negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization – WTO) mengakui Codex Alimentarius Commission sebagai sumber utama untuk standar pangan, pedoman dan dokumen terkait seperti kode praktek. Dokumen Codex seringkali menjadi dasar untuk menyusun hukum dan peraturan spesifik negara yang oleh lembaga pengawasan pangan nasional. Standar Codex mengalami revisi berkesinambungan yang prosesnya diatur oleh kerjasama program standar pangan FAO/WHO. Halaman berikut memberikan sebagian daftar standar Codex yang diterapkan untuk sektor perikanan termasuk budidaya.
  
2.3.  Perundang-Undangan Pangan
Undang-undang pangan pada tahap awal digunakan untuk pencegahan penipuan pada penjualan produk pangan. Seiring berkembangnya jaman, perundang-undangan pangan selanjutnya mencakup keamanan produk pangan atau lebih mengutamakan pertimbangan kesehatan bagi konsumen, sebagai contoh kemanan pangan terkait dengan mikrobiologi yang ada kemungkinan berbahaya pada manusia. Selain itu ada juga standard/peraturan khusus yang ditentukan terkait dengan permasalahan bahaya yang lebih serius, seperti standard pengolahan pangan itu sendiri daripada pencapaian standar mikrobiologinya. Antar negara di belahan dunia menerapkan standard kemanan pangan yang berbeda-beda, hal ini akan menjadikan hambatan pada proses jual-beli produk pangan, perlu adanya penyelarasan perundang-undangan pangan agar semua negara terfasilitasi dalam proses jual-beli produk pangan.
Hukum serta perundang-undangan yang mengatur higiene makanan seperti penggunaan zat aditif serta pelabelan merupakan suatu “Single Act Measures” atau langkah tindakan tunggal yang berarti adalah bagian dari kemajuan menuju pasar tunggal. Langkah-langkah ini terkait dengan pentingnya aliran barang dan jasa secara bebas di pasar internasional. Undang-undang dibuat dengan standar tinggi sebagai fungsi perlindungan konsumen terkait keamanan pangan. Konsumen seharusnya mengetahui secara memadai tentang produk pangan yang beredar, misalnya sifat bahan, asal produk, serta kesesuaian produk dengan syarat yang berlaku.
Di Indonesia, untuk mengatur Keamanan Pangan, pemerintah telah menetapkan peraturan perundangan-undangan yaitu Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, serta Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, Keamanan Pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan  manusia. Mengacu kepada peraturan perundangan tentang keamanan pangan yang dikeluarkan oleh pemerintah ada beberapa hal yang berpengaruh terhadap keamanan suatu produk pangan, yaitu :
1.    Sanitasi Pangan
Perlakuan efektif Sanitasi Pangan dimaksudkan untuk menghilangkan sel vegetatif mikroba yang membahayakan kesehatan, sekaligus mengurangi mikroba lainnya yang tidak diinginkan, tanpa mempengaruhi mutu produk dan keamanan bagi konsumen. Selain itu perlu adanya syarat higiene pada alat, tempat, pekerja, serta sarana lain yang bersangkutan dengan proses produksi pangan.
2.    Penggunaan Bahan Tambahan Pangan
Jenis dan batas maksimum penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) diatur dalam pasal 10 sampai 12 UU No. 7/1996 dan peraturan di bawahnya. Penggunaan BTP harus diatur agar bahaya terhadap kesehatan manusia dapat dicegah. Selain itu dalam Permenkes No. 722/Menkes/PER/IX/88 selain menetapkan BTP yang aman juga menetapkan Bahan Terlarang dan Berbahaya. Untuk menguji keamanan BTP, di tingkat dunia BTP dinyatakan aman oleh suatu badan atau komite ahli yang dibentuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Pangan Dunia (FAO) yang dikenal dengan Joint Expert Committee on Food Additives and Contaminant, disingkat JECFA.
3.    Rekayasa Genetika dan Iradiasi Pangan
Pangan Produk Rekayasa Genetika (PRG)  adalah pangan yang diproduksi atau menggunakan bahan baku, Bahan Tambahan Pangan dan bahan lain yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika. Proses rekayasa genetika adalah proses yang melibatkan pemindahan gen (pembawa sifat) dari suatu jenis hayati ke jenis hayati lain yang berbeda atau sama, untuk mendapatkan jenis baru yang mampu menghasilkan pangan yang lebih unggul. Untuk menjamin keamanan PRG, produsen wajib memeriksakan keamanannya bagi kesehatan manusia sebelum produk tersebut diedarkan ke konsumen.
Iradiasi pangan adalah metode penyinaran terhadap pangan, baik dengan menggunakan zat radioaktif maupun akselerator untuk mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan serta membebaskan pangan dari jasad renik patogen. Proses produksi dengan teknik atau metode iradiasi wajib memenuhi persyaratan kesehatan, penanganan limbah dan penanggulangan bahaya bahan radioaktif. Hal itu penting  untuk menjamin keamanan pangan, keselamatan kerja dan kelestarian lingkungan.
4.    Kemasan Pangan
Menurut UU No.7/1996 tentang Pangan, setiap produsen pangan wajib mengemas produk pangan dengan kemasan yang aman, serta mampu melindungi pangan dari cemaran yang merugikan atau membayakan kesehatan manusia. Kemasan yang baik, mampu memberi perlindungan terhadap produk dari benturan fisik, cahaya, oksigen dan uap air yang dapat memicu pertumbuhan mikroba dan reaksi enzimatik.
5.    Penggunaan Bahan Terlarang dan Berbahaya Pada Produk Pangan
Sesuai dengan Permenkes No. 772/Menkes/PER/IX/88, produsen makanan dilarang menggunakan bahan-bahan yang ditetapkan sebagai bahan terlarang dan berbahaya, antara lain adalah:
1.    Asam Borat (Boraks)
2.    Asam Salisilat
3.    Dietil Pirokarbonat
4.    Dulsin
5.    Formalin
6.    Kalium Bromat
7.    Kalium Klorat
8.    Minyak Nabati yang dibrominasi
9.    Kloramfenikol
10. Nitrafurazon
Berdasarkan jurnal “Pola Resistensi Salmonella typhi yang Diisolasi dari Ikan Serigala(Hoplias malabaricus) terhadap Antibiotik” didapatkan hasil yaitu : Resistensi antibiotic.
Resistensi adalah mekanisme tubuh yang secara keseluruhan membuat rintangan untuk berkembangnya penyerangan atau pembiakan agent menular atau kerusakan oleh racun yang dihasilkannya. Resistensi antibiotika timbul bila suatu antibiotika kehilangan kemampuannya untuk secara efektif mengendalikan atau membasmi pertumbuhan bakteri dengan kata lain bakteri mengalami “resistensi” dan terus berkembangbiak meskipun telah diberikan antibiotika dalam jumlah yang cukup untuk pengobatan.
Resistensi antibiotik meningkat di sejumlah patogen makanan. Hal tersebut ditunjukan pada kasus yang terjadi di Inggris dan Wales pada tahun 1981 dan 1994. Berdasarkan jurnal tentang “Pola Resistensi Salmonella typhi yang Diisolasi dari Ikan Serigala/ ikan ganas(Hoplias malabaricus) terhadap Antibiotik” , dijelaskan bahwa resistensi Salmonella typhi pada ikan menggambarkan dua hal yaitu pertama, bahwa bakteri yang menginfeksi ikan telah resisten sebelumnya. Bakteri ini dapat berasal dari lingkungan dan hospes (manusia dan hewan). Kedua, bahwa bakteri mengalami proses resistensi di dalam tubuh ikan akibat pemberian antibiotik yang kurang tepat dan berkepanjangan. Sedangkan antibiotik streptomycin, gentamycin, dan chlorampenicol memiliki sensitivitas yang tinggi dalam menghambat bakteri S. typhidengan diameter hambat berturut-turut 16 mm, 21 mm dan 25 mm. (Monica et al., 2013)
Strategi untuk menghindari resistensi adalah menemukan inovasi dan antimikroba baru (Devendr et al., 2011). Produksi antibiotika baru yang berasal dari fitofarmaka (tanaman obat) merupakan alternatif yang perlu dipertimbangkan.
Resistensi ini biasanya berawal dari kesalahan diagnosa dalam menentukan antibiotik yang tepat dalam menangani suatu penyakit, selain itu beberapa faktor yang mendukung antara lain :
1.    Penggunaannya yang kurang tepat (irrasional) : terlau singkat, dalam dosis yang terlalu rendah, diagnose awal yang salah, potensi yang tidak kuat.
2.    Penggunaannya untuk hewan dan binatang ternak : antibiotik juga dipakai untuk mencegah dan mengobati penyakit infeksi pada hewan ternak. Dalam jumlah besar antibiotik digunakan sebagai suplemen rutin untuk profilaksis atau merangsang pertumbuhan hewan ternak. Bila dipakai dengan dosis subterapeutik, akan meningkatkan terjadinya resistensi.
3.    Penggunaan monoterapi : dibandingkan dengan penggunaan terapi kombinasi, penggunaan monoterapi lebih mudah menimbulkan resistensi.
4.    Pengawasan : lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam distribusi dan pemakaian antibiotika. Misalnya, pasien dapat dengan mudah mendapatkan antibiotika meskipun tanpa peresepan dari dokter. Selain itu juga kurangnya komitmen dari instansi terkait baik untuk meningkatkan mutu obat maupun mengendalikan penyebaran infeksi (Kemenkes RI, 2011).





0 komentar:

Posting Komentar