KEAMANAN PANGAN DALAM
PENGENDALIAN MUTU HASIL PERIKANAN
1.
Latar Belakang
Ikan dan
produk perikanan merupakan salah satu sumber pangan yang sangat penting bagi
masyarakat dunia. Diperkirakan konsumsi ikan secara global di masa yang akan
datang akan makin meningkat karena beberapa faktor, di antaranya meningkatnya
jumlah penduduk serta pendapatan masyarakat dunia; meningkatnya apresiasi
terhadap makanan sehat atau healthy food (di antarannya ditandai
dengan rendahnnya kandungan kolesterol dan tingginya asam lemak tak jenuh ganda
omega-3 serta komposisi asam amino yang lebih lengkap), sehingga mendorong
perubahan pola konsumsi daging dari red meat ke white
meat; adanya globalisasi yang menuntut adanya makanan yang
bersifat universal semisal ikan. (Tampubolon, 2009). Sebelum
ikan menjadi produk makanan yang bersifat universal, maka produk
perikanan harus melalui persyaratan jaminan mutu yang ketat yang juga
bersifat universal atau berlaku di seluruh dunia.
Sebagai
produk pangan, ikan tetap dapat menyebabkan permasalahan kesehatan. Ikan dan
produk perikanan dapat terkontaminasi sejak dari proses penangkapan /
pembudidayaan sampai dengan sesaat sebelum dimakan. Kemungkinan terjadinya kontaminasi
pada ikan dan produk perikanan telah mendorong setiap negara untuk melindungi
konsumen dengan mengeluarkan kebijakan berupa peraturan dan standar mutu,
dimana setiap produk perikanan yang diekspor harus bisa memenuhi persyaratan
peraturan-peraturan dan standar mutu di negara tujuan ekspor. Demikian pula
sebaliknya, produk perikanan asing yang masuk ke Indonesia harus juga bisa
memenuhi peraturan-peraturan dan standar mutu produk di Indonesia.
Beberapa
negara yang merupakan produsen utama produk perikanan budidaya. Vietnam,
Indonesia, Thailand, Chile, Filipina, Jepang, Amerika Serikat, Republik Korea
dan Cina Taipei.
2. Keamanan Pangan
Menurut Undang-undang Republik Indonesia no. 18/2012 tentang pangan,
bahwa keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, sehingga aman untuk
dikonsumsi.
Pangan
yang tidak aman akan menyebabkan penyakit yang disebut foodborne
disease, yaitu segala penyakit yang timbul akibat mengkonsumsi pangan yang
mengandung bahan atau senyawa beracun atau organisme patogen
2.1. Penyebab Ketidakamanan Pangan
Penyebab ketidakamanan pangan adalah
(Baliwati, dkk, 2004):
1.
Segi gizi, jika
kandungan gizinya berlebihan yang dapat menyebabkan berbagai penyakit
degeneratif seperti jantung, kanker, diabetes.
2.
Segi
kontaminasi, jika pangan terkontaminasi oleh mikroorganisme
ataupun bahan-bahan kimia.
Penyebab
pangan tersebut berbahaya karena, makanan tersebut dicemari zat-zat yang
membahayakan kehidupan dan juga karenan didalam makanan itu sendiri telah
terdapat zat-zat yang membahayakan kesehatan (Azwar, 1995). Keamanan pangan
adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah dari kemungkinan
cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan
membahayakan kesehatan manusia. Sedangkan mutu pangan adalah nilai yang
ditentukan atas dasar criteria keamanan pangan, kandungan gizi dan standar
perdagangan terhadap bahan makanan dan minuman.
Dalam
menanggapi masalah keamanan pangan yang terkait dengan makanan hasil laut,
produk ini harus memenuhi standar yang semakin ketat untuk memastikan mutu dan
keamanannya.
2.2. Standar Pangan
Standar
pangan umumnya berasal dari Standar Sektor Publik, yang meliputi hukum dan
peraturan pangan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Tergantung pada negara,
peraturan dapat lebih spesifik sesuai negara itu sendiri, atau berpotensi
diterapkan disuatu wilayah (misalnya Uni Eropa) atau blok perdagangan.
Negara-negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade
Organization – WTO) mengakui Codex Alimentarius Commission sebagai
sumber utama untuk standar pangan, pedoman dan dokumen terkait seperti kode
praktek. Dokumen Codex seringkali menjadi dasar untuk menyusun hukum dan
peraturan spesifik negara yang oleh lembaga pengawasan pangan nasional. Standar
Codex mengalami revisi berkesinambungan yang prosesnya diatur oleh kerjasama
program standar pangan FAO/WHO. Halaman berikut memberikan sebagian daftar
standar Codex yang diterapkan untuk sektor perikanan termasuk budidaya.
2.3. Perundang-Undangan Pangan
Undang-undang pangan pada tahap awal digunakan untuk pencegahan penipuan
pada penjualan produk pangan. Seiring berkembangnya jaman, perundang-undangan
pangan selanjutnya mencakup keamanan produk pangan atau lebih mengutamakan
pertimbangan kesehatan bagi konsumen, sebagai contoh kemanan pangan terkait
dengan mikrobiologi yang ada kemungkinan berbahaya pada manusia. Selain itu ada
juga standard/peraturan khusus yang ditentukan terkait dengan permasalahan
bahaya yang lebih serius, seperti standard pengolahan pangan itu sendiri
daripada pencapaian standar mikrobiologinya. Antar negara di belahan dunia
menerapkan standard kemanan pangan yang berbeda-beda, hal ini akan menjadikan
hambatan pada proses jual-beli produk pangan, perlu adanya penyelarasan
perundang-undangan pangan agar semua negara terfasilitasi dalam proses
jual-beli produk pangan.
Hukum
serta perundang-undangan yang mengatur higiene makanan seperti penggunaan zat
aditif serta pelabelan merupakan suatu “Single Act Measures” atau langkah
tindakan tunggal yang berarti adalah bagian dari kemajuan menuju pasar tunggal.
Langkah-langkah ini terkait dengan pentingnya aliran barang dan jasa secara
bebas di pasar internasional. Undang-undang dibuat dengan standar tinggi
sebagai fungsi perlindungan konsumen terkait keamanan pangan. Konsumen
seharusnya mengetahui secara memadai tentang produk pangan yang beredar,
misalnya sifat bahan, asal produk, serta kesesuaian produk dengan syarat yang
berlaku.
Di
Indonesia, untuk mengatur Keamanan Pangan, pemerintah telah menetapkan
peraturan perundangan-undangan yaitu Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang
Pangan, serta Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan
Gizi Pangan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan,
Mutu dan Gizi Pangan, Keamanan Pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya
yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia
dan benda lain yang mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan
manusia. Mengacu kepada peraturan perundangan tentang keamanan pangan yang
dikeluarkan oleh pemerintah ada beberapa hal yang berpengaruh terhadap keamanan
suatu produk pangan, yaitu :
1.
Sanitasi Pangan
Perlakuan efektif Sanitasi Pangan dimaksudkan untuk menghilangkan
sel vegetatif mikroba yang membahayakan kesehatan, sekaligus mengurangi mikroba
lainnya yang tidak diinginkan, tanpa mempengaruhi mutu produk dan keamanan bagi
konsumen. Selain itu perlu adanya syarat higiene pada alat, tempat, pekerja,
serta sarana lain yang bersangkutan dengan proses produksi pangan.
2.
Penggunaan Bahan Tambahan Pangan
Jenis dan batas maksimum penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP)
diatur dalam pasal 10 sampai 12 UU No. 7/1996 dan peraturan di bawahnya.
Penggunaan BTP harus diatur agar bahaya terhadap kesehatan manusia dapat
dicegah. Selain itu dalam Permenkes No. 722/Menkes/PER/IX/88 selain menetapkan
BTP yang aman juga menetapkan Bahan Terlarang dan Berbahaya. Untuk menguji
keamanan BTP, di tingkat dunia BTP dinyatakan aman oleh suatu badan atau komite
ahli yang dibentuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Pangan Dunia
(FAO) yang dikenal dengan Joint Expert Committee on Food Additives and
Contaminant, disingkat JECFA.
3.
Rekayasa Genetika dan Iradiasi Pangan
Pangan Produk Rekayasa Genetika (PRG) adalah pangan yang
diproduksi atau menggunakan bahan baku, Bahan Tambahan Pangan dan bahan lain
yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika. Proses rekayasa genetika adalah
proses yang melibatkan pemindahan gen (pembawa sifat) dari suatu jenis hayati
ke jenis hayati lain yang berbeda atau sama, untuk mendapatkan jenis baru yang
mampu menghasilkan pangan yang lebih unggul. Untuk menjamin keamanan PRG,
produsen wajib memeriksakan keamanannya bagi kesehatan manusia sebelum produk
tersebut diedarkan ke konsumen.
Iradiasi pangan adalah metode penyinaran
terhadap pangan, baik dengan menggunakan zat radioaktif maupun akselerator
untuk mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan serta membebaskan pangan
dari jasad renik patogen. Proses produksi dengan teknik atau metode iradiasi
wajib memenuhi persyaratan kesehatan, penanganan limbah dan penanggulangan
bahaya bahan radioaktif. Hal itu penting untuk menjamin keamanan pangan,
keselamatan kerja dan kelestarian lingkungan.
4.
Kemasan Pangan
Menurut UU No.7/1996 tentang Pangan, setiap produsen pangan wajib
mengemas produk pangan dengan kemasan yang aman, serta mampu melindungi pangan
dari cemaran yang merugikan atau membayakan kesehatan manusia. Kemasan yang
baik, mampu memberi perlindungan terhadap produk dari benturan fisik, cahaya,
oksigen dan uap air yang dapat memicu pertumbuhan mikroba dan reaksi enzimatik.
5.
Penggunaan
Bahan Terlarang dan Berbahaya Pada Produk Pangan
Sesuai dengan Permenkes No. 772/Menkes/PER/IX/88, produsen makanan
dilarang menggunakan bahan-bahan yang ditetapkan sebagai bahan terlarang dan
berbahaya, antara lain adalah:
1.
Asam Borat (Boraks)
2.
Asam Salisilat
3.
Dietil Pirokarbonat
4.
Dulsin
5.
Formalin
6.
Kalium Bromat
7.
Kalium Klorat
8.
Minyak Nabati yang dibrominasi
9.
Kloramfenikol
10.
Nitrafurazon
Berdasarkan jurnal “Pola Resistensi Salmonella
typhi yang Diisolasi dari Ikan Serigala(Hoplias malabaricus)
terhadap Antibiotik” didapatkan hasil yaitu : Resistensi antibiotic.
Resistensi adalah mekanisme tubuh yang secara keseluruhan membuat
rintangan untuk berkembangnya penyerangan atau pembiakan agent menular atau
kerusakan oleh racun yang dihasilkannya. Resistensi antibiotika timbul bila
suatu antibiotika kehilangan kemampuannya untuk secara efektif mengendalikan
atau membasmi pertumbuhan bakteri dengan kata lain bakteri mengalami
“resistensi” dan terus berkembangbiak meskipun telah diberikan antibiotika
dalam jumlah yang cukup untuk pengobatan.
Resistensi
antibiotik meningkat di sejumlah patogen makanan. Hal tersebut ditunjukan pada
kasus yang terjadi di Inggris dan Wales pada tahun 1981 dan 1994. Berdasarkan jurnal tentang “Pola
Resistensi Salmonella typhi yang Diisolasi dari Ikan Serigala/
ikan ganas(Hoplias malabaricus) terhadap Antibiotik” , dijelaskan bahwa
resistensi Salmonella typhi pada ikan menggambarkan dua hal
yaitu pertama, bahwa bakteri yang menginfeksi ikan telah resisten sebelumnya.
Bakteri ini dapat berasal dari lingkungan dan hospes (manusia dan hewan).
Kedua, bahwa bakteri mengalami proses resistensi di dalam tubuh ikan akibat
pemberian antibiotik yang kurang tepat dan berkepanjangan. Sedangkan antibiotik
streptomycin, gentamycin, dan chlorampenicol memiliki sensitivitas yang tinggi
dalam menghambat bakteri S. typhidengan diameter hambat
berturut-turut 16 mm, 21 mm dan 25 mm. (Monica et al., 2013)
Strategi
untuk menghindari resistensi adalah menemukan inovasi dan antimikroba baru (Devendr
et al., 2011). Produksi antibiotika baru yang berasal dari fitofarmaka (tanaman
obat) merupakan alternatif yang perlu dipertimbangkan.
Resistensi ini biasanya berawal dari kesalahan diagnosa dalam menentukan
antibiotik yang tepat dalam menangani suatu penyakit, selain itu beberapa
faktor yang mendukung antara lain :
1.
Penggunaannya yang
kurang tepat (irrasional) : terlau singkat, dalam dosis yang terlalu rendah,
diagnose awal yang salah, potensi yang tidak kuat.
2.
Penggunaannya untuk
hewan dan binatang ternak : antibiotik juga dipakai untuk mencegah dan
mengobati penyakit infeksi pada hewan ternak. Dalam jumlah besar antibiotik
digunakan sebagai suplemen rutin untuk profilaksis atau merangsang pertumbuhan
hewan ternak. Bila dipakai dengan dosis subterapeutik, akan meningkatkan
terjadinya resistensi.
3.
Penggunaan
monoterapi : dibandingkan dengan penggunaan terapi kombinasi, penggunaan
monoterapi lebih mudah menimbulkan resistensi.
4.
Pengawasan :
lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam distribusi dan pemakaian
antibiotika. Misalnya, pasien dapat dengan mudah mendapatkan antibiotika
meskipun tanpa peresepan dari dokter. Selain itu juga kurangnya komitmen dari
instansi terkait baik untuk meningkatkan mutu obat maupun mengendalikan
penyebaran infeksi (Kemenkes RI, 2011).
0 komentar:
Posting Komentar