PEMANFAATAN LIMBAH IKAN
MENJADI : SUMBER KALSIUM, PUPUK ORGANIK DAN TEPUNG IKAN
Pendahuluan
Diantara
bahan alami, ikan tercatat sebagai bahan yang sangat cepat membusuk. Karenanya
begitu ikan tertangkap, maka proses pengolahan dalam bentuk pengawetan dan
pengolahan harus segera dilakukan. Juga selama pengolahan ikan, masih banyak
bagian-bagian dari ikan, baik kepala, ekor, maupun bagian-bagian yang
ditermanfaatkan akan dibuang. Tidak mengherankan kalau sisa ikan dalam bentuk
buangan dan bentuk-bentuk lainnya berjumlah cukup banyak, apalagi kalau
ditambah dengan jenis-jenis ikan lainnya yang tertangkap tetapi tidak mempunyai
nilai ekonomi. Ditambah lagi, ikan-ikan sisa dan yang terbuang tersebut secara
langsung maupun tidak langsung banyak membawa problema lingkungan di kawasan
pesisir, minimal dalam bentuk gangguan terhadap kebersihan, sanitasi dan
kesehatan lingkungan (Trilaksani, W., et al, 2006).
Untuk
memaksimalkan potensi perikanan dan banyaknya ikan yang terbuang sia-sia tanpa
ada nilai ekonomisnya maka perlu dilakukan suatu terobosan baru dalam
memanfaatkan setiap bagaian dalam bidang perikanan salah satunya adalah dengan
memanfaatkan limbah ikan atau mungkin ikan-ikan yang tidak ekonomis penting dan
ikan yang terbuang sia-sia. Pemanfaatan ini diantaranya adalah menjadikan
limbah tersebut sebagai sumber kalsium, pupuk organik dan tepung ikan.
1.
Pemanfaatan Limbah Tulang
Ikan Sebagai Sumber Kalsium
Selama
ini yang direkomendasikan sebagai sumber kalsium terbaik adalah susu. Tetapi
harga susu bagi sebagian masyarakat masih terhitung mahal, oleh karena itu
perlu dicari alternatif sumber kalsium yang lebih murah, mudah didapat dan
tentu saja mudah diabsorbsi.
Kalsium
yang berasal dari hewan seperti limbah tulang ikan sampai saat ini belum banyak
dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia. Tulang ikan merupakan salah satu bentuk
limbah dari industri pengolahan ikan yang memiliki kandungan kalsium terbanyak
diantara bagian tubuh ikan, karena unsur utama dari tulang ikan adalah kalsium,
fosfor dan karbonat.
Ikan
tuna merupakan komoditas perikanan Indonesia yang banyak menghasilkan devisa
(terbesar kedua setelah udang) (Trilaksani, W., et al, 2006).
Peningkatan nilai produksi ikan tuna dari tahun ke tahun menunjukkan nilai yang
cukup tajam. Peningkatan volume produksi ini akan meningkatkan volume limbah
hasil industri pengolahan tuna tersebut. Pemanfaatan limbah tulang ikan tuna
sebagai sumber kalsium merupakan salah satu alternatif dalam rangka menyediakan
sumber pangan kaya kalsium sekaligus mengurangi dampak buruk pencemaran
lingkungan akibat dari pembuangan limbah industri pengolahan tuna (Eko H.R,
2007).
Parameter
yang diukur dalam penelitian ini adalah kadar kalsium, fosfor, air, abu,
protein, lemak, pH, derajat putih, daya serap air, kemudahan melarut, densitas
kamba dan bioavailabilitas kalsium. Tepung tulang ikan yang dihasilkan dalam
penelitian ini mengandung kalsium tertinggi 39,24 % dan fosfor 13,66 % yang
diperoleh dari kombinasi perlakuan autoclaving 2 (dua) jam dan
perebusan 3 (tiga) kali (Trilaksani, W.,
et al, 2006).
2. Tepung
Hidrolisat Protein
Substitusi dan fortifikasi
hidrolisat protein ke dalam olahan produk pangan bertujuan untuk (Trilaksani,
W., et al, 2006):
1. Peningkatan
konsumsi protein ikani masyarakat yang jauh dari pantai;
2. Menanggulangi
masalah KEP/KKP maupun gizi ganda;
3. Meningkatkan
nilai tambah komuditi, hingga dapat meningkatkan pendapatan, kesempatan
berusaha, dan kesempatan kerja di pedesaan pantai; dan
4. Mendapatkan
bahan dalam perumusan model teknologi pengolahan limbah pengalengan ikan tuna
yang layak secara teknis ekonomis. Keluaran yang diharapkan adalah teknologi
yang mampu menghasilakan tepung hidrolisat protein bermutu, serta tidak
membayangkan kesehatan (pencernaan) apabila dikonsumsi.
Serangkaian penelitian yang
dilaksanakan di Lab. Ilmu dan Teknologi Pangan, Unibraw; Lab. Faperikan
Unibraw; terdiri dari 3 tahap kegiatan, yaitu: (1) pembuatan tepung THPI daging
merah ikan tuna; (2) aplikasi THPI ke dalam olahan produk pangan fortifikasi
(burger dan mie kering); dan (3) aplikasi THPI ke dalam olahan produk pangan
subtitusi (bakso dan sosis) (Trilaksani, W., et al, 2006).
Dari
data yang dapat dikumpulkan, setiap musim masih terdapat antara 25-30% hasil
tangkapan Ikan Laut yang akhirnya harus menjadi ikan sisa atau ikan buangan
yang disebabkan karena berbagai hal (Trilaksani, W., et al, 2006):
1. Keterbatasan
pengetahuan dan sarana para nelayan di dalam cara pengolahan ikan. Misalnya,
hasil tangkapan tersebut masih terbatas sebagai produk untuk dipasarkan
langsung (ikan segar), atau diolah menjadi ikan asin, pindang, terasi serta hasil-hasil
olahannya.
2. Tertangkapnya
jenis-jenis ikan lain yang kurang berharga ataupun sama sekali belum mempunyai
nilai di pasaran, yang akibatnya ikan tersebut harus dibuang kembali.
3. Pemanfaatan
Limbah Ikan sebagai Pupuk Organik
Bahan
baku ikan untuk memproduksi pupuk organik sangat dipengaruhi oleh kandungan
lemaknya. Kemungkinan besar lama waktu proses pembuatan pupuk organik
tergantung dari kandungan lemaknya. Dengan kandungan lemak yang tinggi,
kemungkinan besar bahwa prosesnya akan lambat atau tidak sempurna. Berbeda
dengan kandungan lemak yang sedikit, maka hasil pupuknya akan termasuk yang
terbaik (Annonymous, 2010).
Pupuk organik lengkap yang terbuat dari bahan
baku ikan memiliki kualitas sebagai pupuk yang lebih dibandingkan dengan pupuk
organik lain, apalagi kalau dibandingkan dengan pupuk kompos, pupuk kandang,
ataupun pupuk hijau. FAO telah menetapkan kriteria dasar untuk pupuk jenis ini,
yakni: kandungan unsur makro harus mempunyai nilai minimal N (12%), P (8%), dan
K (6%) disamping kandungan unsur mikro seperti Ca, Fe, Mg, Cu, Zn, Mn, dan
sebagainya. Kandungan protein dan lemak yang tinggi akan menghambat pertumbuhan
dari tanaman pangan tersebut. Perlu adanya terobosan baru untuk mengurangi
kandungan lemak dan protein tersebut sebelum diterapkan menjadi pupuk organik
(Annonymous, 2010).
Keunggulan
:
1. Pupuk
yang dihasilkan merupakan pupuk organik yang unsur haranya lebih lengkap
dibandingkan dengan pupuk anorganik;
2. Membuat
daun tanaman hias menjadi lebih mengkilap, bunga lebih banyak dan bertahan lebih
lama;
3. Bahan
baku melimpah dan murah, karena memanfaatkan limbah pengolahan ikan;
4. Harga
jual kompetitif jika dibandingkan dengan produk impor yang sangat mahal;
5. Konsep
back to nature melalui pertanian organik. (Annonymous, 2010)
Kelemahan:
Limbah
cair pengolahan tepung ikan untuk dijadikan pupuk cair kelemahannya adalah bau
busuk yang sangat menyengat dan membuat kepala pusing. Masalah bau busuk dapat
diatasi antara lain dengan menurunkan pH limbah cair, memberi aerasi,
menambahkan bahan penyerap bau, menggunakan mikroba yang mempercepat proses
dekomposisi dan merombak senyawa yang menimbulkan bau. Proses menghilangkan bau
busuk dari limbah cair pengolahan tepung ikan untuk dijadikan bahan baku pupuk
cair dilakukan dengan menurunkan pH limbah ikan dari 8,0 menjadi 6,0 dengan
penambahan HCl, menambahkan molases, dan menginokulasi limbah ikan dengan
kultur bakteri asam laktat. Kultur ini diinkubasi pada shaker dengan memberikan
aerasi secara terputus selang dua jam dengan dikocok pada 120 rpm. Dengan cara
ini bau busuk limbah ikan hilang dalam waktu inkubasi lima hari (Annonymousa,
2010).
Limbah
cair pengolahan tepung ikan yang telah dihilangkan bau busuknya dijadikan
sebagai bahan baku pembuatan pupuk. Pupuk dibuat dengan menambahkan batuan
fosfat alam untuk meningkatkan kandungan unsur Phospat (P) dan kelarutan batuan
fosfat ditingkatkan dengan menambahkan mikroba pelarut fosfat. Inkubasi
dilanjutkan selama dua hari lagi. Kandungan hara pupuk cair tergantung pada
jenis dan ukuran ikan, sehingga kandungan unsur hara limbah ikan bervariasi
dari 1500-2000 ppm N, 300 ppm P dan 3000-4000 ppm K, pH sekitar 6,5
(Annonymous, 2010).
4. Pemanfaatan
Limbah Ikan sebagai Tepung Ikan
Dalam
kegiatan industri pengalengan ikan selalu menghasilkan limbah ikan yang
sebenarnya masih dapat dimanfaatkan untuk membuat tepung ikan. Tepung ikan
dapat dimanfaatkan untuk campuran makanan ternak seperti unggas, babi dan
makanan ikan. Tepung ikan mengandung protein, mineral dan vitamin B. Protein
ikan terdiri dari asam amino yang tidak terdapat pada tumbuhan. Kandungan gizi
yang tinggi pada tepung ikan dapat meningkatkan produksi dan nilai gizi telur,
daging ternak dan ikan. Kandungan gizi tepung ikan tergantung dari jenis ikan
yang digunakan sebagai bahan bakunya. Tepung ikan yang berkualitas tinggi
mengandung komponen-komponen sebagai berikut (Annonymous, 2009):
·
Air 6-100 %
·
Lemak 5-12 %
·
Protein 60-75 %
·
Abu 10-20 %
Selain
itu karena dibuat dari kepala dan duri ikan maka tepung ikan juga mengandung
(Annonymous, 2009):
·
Ca fosfat
·
Seng
·
Yodium
·
Besi
·
Timah
·
Mangan
·
Kobalt
·
Vitamin B 2 dan B 3
Bahan
baku tepung ikan dapat berupa (Annonymous, 2009):
·
Limbah ikan dari industri
pengalengan ikan
·
Ikan kurus: ikan-ikan kecil
misalnya teri (Solepherus sp.)
·
Ikan gemuk: ikan petek (Leioguanathus
sp.)
Berikut ini adalah cara pembuatan tepung ikan
(Annonymous, 2009):
1. Bahan
limbah dipotong kecil-kecil dalam bak pencucian dengan air yang mengalir.
2. Dilakukan
penggaraman selama 30 menit.
3. Khusus
untuk ikan gemuk tambahkan air hingga terendam dan dimasak selama 1 jam. Untuk
ikan kurus dimasak dalam dandang selama 30 menit, kemudian ikan yang sudah
matang dimasukkan ke dalam alat pengepres.
4. Ikan
yang telah dipres digiling.
5. Ikan
yang telah dipres dikeringkan pada suhu 60-650Celcius selama 6 jam
di dalam alat pengering untuk ikan basah, dan ikan kering dikeringkan dengan
sinar matahari.
6. Ikan
yang telah dipres dan kering digiling sampai lembut.
7. Tepung
ikan siap dipasarkan.
Meningkatkan
Mutu dengan Program Vucer (Annonymous, 2009):
·
Memperkenalkan teknik
desalting pada ikan asin yang akan digunakan sebagai bahan baku tepung ikan.
Teknik desalting dapat dilakukan dengan cara merendam ikan asin di dalam
larutan berkonsentrasi gararn rendah selama 12 jam. Proses ini mampu mengurangi
kadar garam, meningkatkan kadar protein, dan secara otomatis akan menaikkan
harga jual produk.
·
Perubahan waktu perebusan
ikan dari 30 menit menjadi hanya 5 menit, yang dilakukan setelah air mendidih.
Hal ini ternyata mampu memelihara nilai gizi ikan, terutama protein yang tidak
banyak larut atau terbuang akibat perebusan.
·
Pengadaan peralatan
pengepres ikan yang telah direbus. Hal ini mampu meningkatkan kapasitas
produksi. menurunkan kadar air, menurunkan kadar lemak dan rneningkatkan kadar
protein tepung ikan. Juga menurunkan presentase ikan yang busuk akibat lamanya
proses penjemuran.
·
Pengadaan lantai penjemuran
dengan disain seperti penjemur padi. Hal ini mempercepat proses penjemuran
menjadi hanya satu dari 2-3 hari sebelumnya.
·
Pengadaan peralatan pengayak
yang mampu menghasilkan ukuran tepung ikan yang lebih seragam, yaitu 60 mesh.
Dari segi mutu dan harga
telah terjadi peningkatan. Kadar protein meningkat dari 47,5% menjadi 54%
setelah pelaksanaan Program Vucer, dan kadar air menurun dari 13,7% menjadi
10,4% (Annonymous, 2009).
0 komentar:
Posting Komentar