Selasa, 25 September 2018

TEKNOLOGI BUDIDAYA UDANG WINDU


TEKNOLOGI BUDIDAYA UDANG WINDU

            Perkembangan budidaya udang windu pada masa tahun 1980-an menanjak tajam sehingga menarik banyak investor ke bisnis yang mungkin belum disukainya. Namun pada masa tahun 1990-an grafiknya turun saat itu udang windu mulai goyang. Banyak masalah terakumulasi muncul ke permukaan. Kerusakan lingkungan akibat budidaya udang yang tidak sesuai daya dukung lahan (carrying capacity) dituding sebagai salah satu penyebab utama.
            Petani tambak secara otodidak tanpa didasari ilmu yang cukup, hanya berbekal modal yang cukup besar, sehingga memforsir lahan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Pada tahun 1989 hingga 1999 banyak lahan sawah dikonversi (dialihkan) ke tambak udang.
            Bisnis udang menjanjikan untung yang cukup besar. Selain sebagai komoditi andalan, udang windu (Penaeus monodon Fab.) mempunyai pangsa pasar yang luas dengan harga jual yang relative tinggi stabil di pasaran dunia. Tetapi karena lahan dipaksa untuk berproduksi maka pada akhirnya berbuntut kerusakan dan kerugian. Kejayaan ini hanya dapat bertahan beberapa siklus, tidak dapat lestari.

A.   Penyebab Kegagalan
            Persoalan budidaya udang windu memang cukup komplek dari mulai lambannya pertumbuhan, udang keropos, pada umur sebulan terjadi kematian satu per satu hingga mati total sebelum umur panen.
            Kegagalan budidaya udang terutama disebabkan oleh menurunnya kualitas air, sebagian besar areal tambak dikelola dengan teknologi sederhana secara turun temurun yang sudah tidak sesuai, padat penebaran tidak sesuai dengan kemampuan daya dukung tambak, dan munculnya persoalan lingkungan budidaya, serta tidak berfungsinya peranan kelompok- kelompok tani tambak dalam mengelola system budidaya udang yang benar dan berkelanjutan.

B.   Teknologi BMPs
            Masalah budidaya udang windu di tambak ternyata masih ada peluang untuk bangkit kembali. Agar masa kejayaan udang windu terbangun lagi, maka Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau ( BBPBAP) Jepara bekerjasama dengan ACIAR ( Australian Centre for International Aquaculture Riserch) melakukan desiminasi teknologi budidaya udang windu dengan teknologi Best Management Pratices (BMPs) pada tahun 2003-2004 di Jampue kabupaten Pinrang dan Pangkep (Sulsel), Sidoarjo dan Gresik (Jawa timur). Untuk tahun 2008 kegiatan yang sama dilanjutkan di hamparan kelompok tani tambak Samaturue kelurahan Data, kecamatan Duampanua, Pinrang Sulawesi selatan dan beberapa daerah pertambakan di Indonesia.      
Peneraparan teknologi BMPs yang dikaji oleh BBPBAP Jepara dan ACIAR didasari dari hasil identifikasi masalah dalam budidaya udang windu. Secara umum identifikasi faktor penyebab kegagalan budidaya udang windu di tambak antara lain ; penggunaan benur yang kurang berkualitas dan terinfeksi, lingkungan tambak terkontaminasi dan fluktuasi lingkungan yang ekstrim, system tata air yang buruk antara petambak sehingga memudahkan terjadi kontaminasi dan terinfeksi pada petakan tambak dalam satu kawasan.
Membuat desain dan konstruksi tambak udang cukup secara sederhana. Untuk menekan biaya maka dapat memanfaatkan kondisi tambak yang sudah ada. Yang penting prinsip dasar tata letak dan kosntruksi tambak adalah dapat menyediakan air yang sehat, mencegah penularan penyakit dan dapat mencegah fluktuasi lingkungan (kualitas air dan lumpur dasar tambak). Sebab udang windu bersifat bentik dan suka tinggal di dasar perairan . Sehingga perlu menjaga kondisi air dan lumpur dasar tambak agar udang dapat hidup layak dan tumbuh dengan baik.
Udang yang tumbuh pada lingkungan yang kurang sesuai mempunyai daya tahan tubuh rendah. Daya tahan tubuh rendah secara langsung berpengaruh pada pertumbuhan dan kesehatannya. Karena nafsu makan ikut berpengaruh, kondisi badan lemah dan penyakit mudah menyerang.
Penggunaan air pada teknologi BMPs adalah system tertutup (Closed system). Maksudnya, air dari saluran tidak langsung dimasukkan ke petakan tambak. Tetapi lebih dahulu disehatkan di petak tandon atau biofilter.
Ukuran petak tendon sebaiknya 30 % dari luas petakan tambak. Sebagai biofilter maka di petak tandon ditumbuhkan tanaman air berupa lumut, ganggang atau rumput laut. Tanaman air berfungsi untuk menyerap kandungan bahan organik air atau mempercepat pengendapan suspensi yang larut dalam air. Fungsi lainnya adalah menyerap senyawa ammoniak sebagai hasil dekomposisi bahan organik dalam air oleh bakteri.
Untuk mengendalikan pertumbuhan tanaman air agar tidak blooming (berlebihan) maka ditebar ikan bandeng atau ikan nila sebanyak 1 – 2 ekor/meter. Selain bandeng juga dapat ditebar ikan kakap dan kerapu di petak tandon untuk memakan jenis udang liar sebagai carier pathogen. Air yang ditampung di petak tandon minimal selama 24 jam baru dialirkan masuk ke petak pemeliharaan udang.

C.   Kualitas Air
Pengelolaan kualitas air tambak yang perlu diketahui meliputi parameter fisika air (Salinitas: 15-30 ppt, suhu: 26-30 derajat C, kecerahan: 30 cm), parameter biologis air (kepadatn plankton dan warna air), parameter kimia air (DO: 3 ppm, Ph: 7,5 – 8,5, bahan organic dan alkalinitas: 150 ppm). Warna air tambak terbentuk karena adanya sinar matahari.Warna air pada dasarnya terbagi 2 bagian ;1. warna air sesungguhnya ( bening seperti air mineral) 2.warna bayangan; warna yang terjadi karena adanya bahan organic dan anorganik yang larut dalam air.
Manfaat warna air di tambak ( yang terbentuk karena plankton) :
1. Meningkatkan kadar oksigen dalam air. ( nafsu makan udang tinggi dan mengurangi gas beracun di dasar tambak).
2. Dapat menstabilkan kualitas air (karena mengurai bahan organik secara aerob).
3. Sebagai makanan bagi udang
4. Dapat mencegah tumbuhnya planton sutera dan planton dasar.
5. Dapat menghindari sters pada udang di dalam tambak.
6. Dapat menambah dan menstabilkan suhu air.
7. Mencegah pertumbuhan bakteri pathogen.
Berbagai macam warna air tambak,
1. Coklat kemerahan (pinkish brown water)
-  Penyebabnya plankton jenis diatomae (Chaetoceros dan Skletonema)
-  Mengandung zat nutrisi yang berguna bagi udang.
2.  Hijau muda atau hijau tua (green water)
     -  Penyebabnya; plankton hijau seperti chlorella. Biasanya salinitas rendah dan dasar
         tambak berpasir.
3. Hijau gelap atau hijau kehitaman (black green water).
     -  Penyebabnya; lumpur tebal banyak BO tumbuh plankton oscillatoria.
4. Coklat gelap (dark brown water)
- Penyebabnya; pakan berlebihan akibatkan BO tinggi tumbuh dinoflagellata.
5. Kekuningan (acid yellow water)
     - disebabkan oleh plankton jenis rhodomonas.

D. Gunakan Benur Sehat
Benih udang windu atau benur yang ditebar petani di tambak tidak lagi bergantung dari alam tapi bersumber dari penetasan (hatchery). Sebelum tiba di tangan petambak benur berukuran PL 12-17 dari hatchery lebih dahulu ditampung dalam kolam penggelondongan oleh petani pentokol. Kolam penggolondongan bisa terbuat dari bak permanen, kolam tanah dan kain saringan berbentuk kelambu terbalik. Setelah sepuluh hari di kolam penggelondongan maka disebut gelondong (ada yang menyebut : bijen/Jw; panter mini/Sulawesi) yang ukurannya sebesar biji korek. Jika lama pemeliharaannya sampai 20 hari atau telah mencapi ukuran rokok maka petambak menyebutnya gelondong panter.
Benur hasil penggelondongan ditebar di tambak dengan padat tebar 10.000-15.000 ekor per hektar. Dengan teknologi budidaya tradisional dan tradisional plus dalam kondisi normal hanya memerlukan waktu pemeliharaan 40-70 hari sudah bisa panen dengan size 40 ekor per kilogram. Benur ukuran ini yang ditebar di tambak sudah memiliki daya adaptasi yang tinggi. Sehingga tidak dikhawatirkan akan terjadi kematian tinggi pada awal pemeliharaan akibat stres.Ukuran tubuh sudah sebesar biji korek atau rokok, ekor kipas terbuka lebar dan pergerakan lincah bila ada kejutan serta bisa beradaptasi terhadap goncangan salinitas dan suhu air tambak yang tidak drastis.
Banyak keuntungan jika menggunakan gelondong antara lain tahan terhadap perubahan kualitas air, kebal terhadap penyakit karena sudah teruji, mempersingkat masa pemeliharaan sehingga masa panen bisa dipercepat dan pola tanam bisa capai tiga kali setahun. Benur yang diproduksi hatchery sebaiknya mempunyai ketahanan tinggi terhadap perubahan lingkungan, bebas dari infeksi pathogen dengan bukti uji tes PCR (Polymerase Chain Reaction) atau mendeteksi penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan virus.
Untuk menguji kualitas benur dapat dilakukan dengan tiga cara. Pertama, pengujian secara visual (kasat mata) yaitu warna , aktivitas gerakan, dan ukuran. Benur sehat ditandai dengan warna hitam kecoklatan, aktif berenang menentang arus secara berkelompok serta memiliki ukuran seragam (80%) dalam satu kemasan. Kedua, pengujian secara mikroskopis seperti penggunaan muscle to gut ratio (MGR) yaitu diukur dengan berdasarkan perkiraan perbandingan diameter otot pada ekor dengan lebar saluran pencernaan. Ketiga, pengujian daya tahan dengan merendam sampel benur ke dalam larutan formalin. Caranya ambil formalin 37% sebanyak 54 ml lalu dilarutkan ke dalam dua liter air. Masukkan sampel benur 100 ekor. Setelah dua jam hitung persentase jumlah benur yang bertahan hidup. Bila angka kehidupan di atas 95 % maka kualitas benur tersebut cukup baik.
Selain larutan formalin, pengujian daya tahan benur dapat dilakukan dengan kejutan salinitas air. Caranya, masukkan 50 ekor sampel benur ke dalam 1 liter air asin. Kemudian turunkan salinitas secara mendadak menjadi nol permil dalam tempo setengah jam. Pengujian dilakukan berulang sampai tiga kali. Hitung jumlah benur yang mati. Bila persentase hidup benur di atas 50 % maka kualitas benur tersebut baik untuk ditebar di tambak.
Benur yang digunakan harus mempunyai ketahanan tinggi terhadap perubahan lingkungan dan bebas dari infeksi pathogen dengan bukti uji tes PCR ( Polymerase Chain Reaction) atau mendeteksi penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan virus. Sebelum ditebar di tambak harus melalui proses adaptasi lebih dahulu.

E. Pakan Jangan Berlebih
Budidaya udang dengan input pakan tinggi secara terus-menerus karena mengejar produksi menimbulkan akumulasi limbah. Ini berdampak pada penurunan kualitas dasar tambak, air tambak dan lingkungan perairan tempat buang air limbah. Memang laju akumulasi dan penurunan kualitas lingkungan di setiap hamparan tambak tidak sama. Namun proses itu tetap berlangsung. Suatu saat sumberdaya lahan dan air tidak layak lagi bagi kehidupan udang. Akibatnya, kegagalan sulit dihindari Inilah yang terjadi di beberapa kawasan pertambakan udang di beberapa daerah.
Karena itu untuk menjaga agar kondisi lingkungan budidaya salah satu yang perlu dilakukan adalah memberi pakan udang secara tidak berlebihan. Dari FCR pakan saja kita bisa menghitung berapa besar limbah dari pakan masuk ke dasar tambak. Misalnya FCR 1,5 ini berarti dari 1,5 kg pakan yang diberikan kepada udang 1 kg menjadi daging dan 0,5 kg menjadi kotoran udang. Jika produksi 2 ton maka dibutuhkan pakan 3 ton. Berarti sepertiga dari pakan yang jadi kotoran ada di tambak. Sementara untuk menguraikan 1 kg bahan organik dari feces udang dibutuhkan 1,023 kg oksigen. Kalau limbah tambak tadi terurai secara oksidatif, maka reduksinya tidak menjadi racun. Sebaliknya, jika oksigen dalam tambak kurang sehingga kotoran udang tadi tidak terurai semua secara oksidatif , sisanya akan diurai oleh bakteri secara anaerobik yang menghasilkan H2S dan NH4 yang bersifat racun bagi kehidupan udang.
Kondisi tersebut akan semakin parah jika pakan yang diberikan berlebihan. Sisa pakan berupa protein murni itu mengandung nitrogen tinggi. Dampaknya pertumbuhan plankton tidak terkontrol , air semakin kental. Bila palankton blooming, malam hari tambak kekurangan oksigen, udang susah bernafas. Pasalnya phytoplankton dan tumbuhan air juga mengkonsumsi oksigen. Jadi anggapan memberi pakan banyak agar udang cepat besar itu tidak benar.





0 komentar:

Posting Komentar