TEKNOLOGI
BUDIDAYA UDANG WINDU
Perkembangan
budidaya udang windu pada masa tahun 1980-an menanjak tajam sehingga menarik
banyak investor ke bisnis yang mungkin belum disukainya. Namun pada masa tahun
1990-an grafiknya turun saat itu udang windu mulai goyang. Banyak masalah terakumulasi
muncul ke permukaan. Kerusakan lingkungan akibat budidaya udang yang tidak
sesuai daya dukung lahan (carrying capacity) dituding sebagai salah satu
penyebab utama.
Petani tambak secara otodidak tanpa didasari ilmu yang cukup, hanya berbekal
modal yang cukup besar, sehingga memforsir
lahan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Pada tahun 1989 hingga
1999 banyak lahan sawah dikonversi (dialihkan) ke tambak udang.
Bisnis udang menjanjikan untung yang cukup besar. Selain sebagai komoditi
andalan, udang windu (Penaeus monodon Fab.) mempunyai pangsa pasar yang
luas dengan harga jual yang relative tinggi stabil di pasaran dunia. Tetapi
karena lahan dipaksa untuk berproduksi maka pada akhirnya berbuntut kerusakan
dan kerugian. Kejayaan ini hanya dapat bertahan beberapa siklus, tidak dapat
lestari.
A.
Penyebab Kegagalan
Persoalan
budidaya udang windu memang cukup komplek dari mulai lambannya pertumbuhan,
udang keropos, pada umur sebulan terjadi kematian satu per satu hingga mati
total sebelum umur panen.
Kegagalan budidaya udang terutama disebabkan oleh menurunnya kualitas air,
sebagian besar areal tambak dikelola dengan teknologi sederhana secara turun
temurun yang sudah tidak sesuai, padat penebaran tidak sesuai dengan kemampuan
daya dukung tambak, dan munculnya persoalan lingkungan budidaya, serta tidak
berfungsinya peranan kelompok- kelompok tani tambak dalam mengelola system
budidaya udang yang benar dan berkelanjutan.
B.
Teknologi BMPs
Masalah budidaya udang windu di tambak ternyata masih ada peluang untuk bangkit
kembali. Agar masa kejayaan udang windu terbangun lagi, maka Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Payau ( BBPBAP) Jepara bekerjasama dengan ACIAR (
Australian Centre for International Aquaculture Riserch) melakukan desiminasi
teknologi budidaya udang windu dengan teknologi Best Management Pratices (BMPs)
pada tahun 2003-2004 di Jampue kabupaten Pinrang dan Pangkep (Sulsel), Sidoarjo
dan Gresik (Jawa timur). Untuk tahun 2008 kegiatan yang sama dilanjutkan di
hamparan kelompok tani tambak Samaturue kelurahan Data, kecamatan Duampanua,
Pinrang Sulawesi selatan dan beberapa daerah pertambakan di Indonesia.
Peneraparan teknologi BMPs yang dikaji oleh BBPBAP Jepara
dan ACIAR didasari dari hasil identifikasi masalah dalam budidaya udang windu.
Secara umum identifikasi faktor penyebab kegagalan budidaya udang windu di
tambak antara lain ; penggunaan benur yang kurang berkualitas dan terinfeksi,
lingkungan tambak terkontaminasi dan fluktuasi lingkungan yang ekstrim, system
tata air yang buruk antara petambak sehingga memudahkan terjadi kontaminasi dan
terinfeksi pada petakan tambak dalam satu kawasan.
Membuat desain dan konstruksi tambak udang cukup secara
sederhana. Untuk menekan biaya maka dapat memanfaatkan kondisi tambak yang
sudah ada. Yang penting prinsip dasar tata letak dan kosntruksi tambak adalah
dapat menyediakan air yang sehat, mencegah penularan penyakit dan dapat
mencegah fluktuasi lingkungan (kualitas air dan lumpur dasar tambak). Sebab
udang windu bersifat bentik dan suka tinggal di dasar perairan . Sehingga perlu
menjaga kondisi air dan lumpur dasar tambak agar udang dapat hidup layak dan
tumbuh dengan baik.
Udang yang tumbuh pada lingkungan yang kurang sesuai
mempunyai daya tahan tubuh rendah. Daya tahan tubuh rendah secara langsung
berpengaruh pada pertumbuhan dan kesehatannya. Karena nafsu makan ikut
berpengaruh, kondisi badan lemah dan penyakit mudah menyerang.
Penggunaan
air pada teknologi BMPs adalah system tertutup (Closed system). Maksudnya, air
dari saluran tidak langsung dimasukkan ke petakan tambak. Tetapi lebih dahulu
disehatkan di petak tandon atau biofilter.
Ukuran petak tendon sebaiknya 30 % dari luas petakan tambak.
Sebagai biofilter maka di petak tandon ditumbuhkan tanaman air berupa lumut,
ganggang atau rumput laut. Tanaman air berfungsi untuk menyerap kandungan bahan
organik air atau mempercepat pengendapan suspensi yang larut dalam air. Fungsi
lainnya adalah menyerap senyawa ammoniak sebagai hasil dekomposisi bahan
organik dalam air oleh bakteri.
Untuk mengendalikan pertumbuhan tanaman air agar tidak
blooming (berlebihan) maka ditebar ikan bandeng atau ikan nila sebanyak 1 – 2
ekor/meter. Selain bandeng juga dapat ditebar ikan kakap dan kerapu di petak
tandon untuk memakan jenis udang liar sebagai carier pathogen. Air yang
ditampung di petak tandon minimal selama 24 jam baru dialirkan masuk ke petak
pemeliharaan udang.
C.
Kualitas Air
Pengelolaan kualitas air tambak yang perlu diketahui
meliputi parameter fisika air (Salinitas: 15-30 ppt, suhu: 26-30 derajat C,
kecerahan: 30 cm), parameter biologis air (kepadatn plankton dan warna air),
parameter kimia air (DO: 3 ppm, Ph: 7,5 – 8,5, bahan organic dan alkalinitas:
150 ppm). Warna air tambak terbentuk karena adanya sinar matahari.Warna air
pada dasarnya terbagi 2 bagian ;1. warna air sesungguhnya ( bening seperti air
mineral) 2.warna bayangan; warna yang terjadi karena adanya bahan organic dan
anorganik yang larut dalam air.
Manfaat warna air di tambak ( yang terbentuk karena
plankton) :
1. Meningkatkan kadar oksigen dalam air. ( nafsu makan udang
tinggi dan mengurangi gas beracun di dasar tambak).
2. Dapat menstabilkan kualitas air (karena mengurai bahan
organik secara aerob).
3. Sebagai makanan bagi udang
4. Dapat mencegah tumbuhnya planton sutera dan planton
dasar.
5. Dapat menghindari sters pada udang di dalam tambak.
6. Dapat menambah dan menstabilkan suhu air.
7. Mencegah pertumbuhan bakteri pathogen.
Berbagai macam warna air tambak,
1. Coklat kemerahan
(pinkish brown water)
- Penyebabnya
plankton jenis diatomae (Chaetoceros dan Skletonema)
- Mengandung zat
nutrisi yang berguna bagi udang.
2. Hijau muda atau
hijau tua (green water)
- Penyebabnya; plankton hijau seperti
chlorella. Biasanya salinitas rendah dan dasar
tambak
berpasir.
3. Hijau gelap atau hijau kehitaman (black green water).
- Penyebabnya;
lumpur tebal banyak BO tumbuh plankton oscillatoria.
4. Coklat gelap (dark brown water)
- Penyebabnya; pakan berlebihan akibatkan BO tinggi tumbuh
dinoflagellata.
5. Kekuningan (acid yellow water)
- disebabkan oleh
plankton jenis rhodomonas.
D. Gunakan Benur Sehat
Benih udang windu atau benur yang ditebar petani di tambak
tidak lagi bergantung dari alam tapi bersumber dari penetasan (hatchery).
Sebelum tiba di tangan petambak benur berukuran PL 12-17 dari hatchery lebih
dahulu ditampung dalam kolam penggelondongan oleh petani pentokol. Kolam
penggolondongan bisa terbuat dari bak permanen, kolam tanah dan kain saringan
berbentuk kelambu terbalik. Setelah sepuluh hari di kolam penggelondongan maka
disebut gelondong (ada yang menyebut : bijen/Jw; panter mini/Sulawesi) yang
ukurannya sebesar biji korek. Jika lama pemeliharaannya sampai 20 hari atau
telah mencapi ukuran rokok maka petambak menyebutnya gelondong panter.
Benur hasil penggelondongan ditebar di tambak dengan padat
tebar 10.000-15.000 ekor per hektar. Dengan teknologi budidaya tradisional dan
tradisional plus dalam kondisi normal hanya memerlukan waktu pemeliharaan 40-70
hari sudah bisa panen dengan size 40 ekor per kilogram. Benur ukuran ini yang
ditebar di tambak sudah memiliki daya adaptasi yang tinggi. Sehingga tidak
dikhawatirkan akan terjadi kematian tinggi pada awal pemeliharaan akibat
stres.Ukuran tubuh sudah sebesar biji korek atau rokok, ekor kipas terbuka
lebar dan pergerakan lincah bila ada kejutan serta bisa beradaptasi terhadap
goncangan salinitas dan suhu air tambak yang tidak drastis.
Banyak keuntungan jika menggunakan gelondong antara lain
tahan terhadap perubahan kualitas air, kebal terhadap penyakit karena sudah
teruji, mempersingkat masa pemeliharaan sehingga masa panen bisa dipercepat dan
pola tanam bisa capai tiga kali setahun. Benur yang diproduksi hatchery sebaiknya
mempunyai ketahanan tinggi terhadap perubahan lingkungan, bebas dari infeksi
pathogen dengan bukti uji tes PCR (Polymerase Chain Reaction) atau
mendeteksi penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan virus.
Untuk menguji kualitas benur dapat dilakukan dengan tiga
cara. Pertama, pengujian secara visual (kasat mata) yaitu warna , aktivitas
gerakan, dan ukuran. Benur sehat ditandai dengan warna hitam kecoklatan, aktif
berenang menentang arus secara berkelompok serta memiliki ukuran seragam (80%)
dalam satu kemasan. Kedua, pengujian secara mikroskopis seperti penggunaan muscle
to gut ratio (MGR) yaitu diukur dengan berdasarkan perkiraan perbandingan
diameter otot pada ekor dengan lebar saluran pencernaan. Ketiga, pengujian daya
tahan dengan merendam sampel benur ke dalam larutan formalin. Caranya ambil
formalin 37% sebanyak 54 ml lalu dilarutkan ke dalam dua liter air. Masukkan
sampel benur 100 ekor. Setelah dua jam hitung persentase jumlah benur yang
bertahan hidup. Bila angka kehidupan di atas 95 % maka kualitas benur tersebut
cukup baik.
Selain larutan formalin, pengujian daya tahan benur dapat
dilakukan dengan kejutan salinitas air. Caranya, masukkan 50 ekor sampel benur
ke dalam 1 liter air asin. Kemudian turunkan salinitas secara mendadak menjadi
nol permil dalam tempo setengah jam. Pengujian dilakukan berulang sampai tiga
kali. Hitung jumlah benur yang mati. Bila persentase hidup benur di atas 50 %
maka kualitas benur tersebut baik untuk ditebar di tambak.
Benur yang digunakan harus mempunyai ketahanan tinggi
terhadap perubahan lingkungan dan bebas dari infeksi pathogen dengan bukti uji
tes PCR ( Polymerase Chain Reaction) atau mendeteksi penyakit yang disebabkan
oleh bakteri dan virus. Sebelum ditebar di tambak harus melalui proses adaptasi
lebih dahulu.
E. Pakan Jangan Berlebih
Budidaya udang dengan input pakan tinggi secara
terus-menerus karena mengejar produksi menimbulkan akumulasi limbah. Ini
berdampak pada penurunan kualitas dasar tambak, air tambak dan lingkungan
perairan tempat buang air limbah. Memang laju akumulasi dan penurunan kualitas
lingkungan di setiap hamparan tambak tidak sama. Namun proses itu tetap
berlangsung. Suatu saat sumberdaya lahan dan air tidak layak lagi bagi
kehidupan udang. Akibatnya, kegagalan sulit dihindari Inilah yang terjadi di
beberapa kawasan pertambakan udang di beberapa daerah.
Karena itu untuk menjaga agar kondisi lingkungan budidaya
salah satu yang perlu dilakukan adalah memberi pakan udang secara tidak
berlebihan. Dari FCR pakan saja kita bisa menghitung berapa besar limbah dari
pakan masuk ke dasar tambak. Misalnya FCR 1,5 ini berarti dari 1,5 kg pakan
yang diberikan kepada udang 1 kg menjadi daging dan 0,5 kg menjadi kotoran
udang. Jika produksi 2 ton maka dibutuhkan pakan 3 ton. Berarti sepertiga dari
pakan yang jadi kotoran ada di tambak. Sementara untuk menguraikan 1 kg bahan
organik dari feces udang dibutuhkan 1,023 kg oksigen. Kalau limbah tambak tadi
terurai secara oksidatif, maka reduksinya tidak menjadi racun. Sebaliknya, jika
oksigen dalam tambak kurang sehingga kotoran udang tadi tidak terurai semua
secara oksidatif , sisanya akan diurai oleh bakteri secara anaerobik yang
menghasilkan H2S dan NH4 yang bersifat racun bagi
kehidupan udang.
Kondisi tersebut akan semakin parah jika pakan yang diberikan
berlebihan. Sisa pakan berupa protein murni itu mengandung nitrogen tinggi.
Dampaknya pertumbuhan plankton tidak terkontrol , air semakin kental. Bila
palankton blooming, malam hari tambak kekurangan oksigen, udang susah bernafas.
Pasalnya phytoplankton dan tumbuhan air juga mengkonsumsi oksigen. Jadi
anggapan memberi pakan banyak agar udang cepat besar itu tidak benar.
0 komentar:
Posting Komentar