PENGAWETAN
DENGAN BAHAN KIMIA
Banyak
bahan kimia yang dapat membunuh mikroba atau mencegah pertumbuhannya, tetapi
sebagian besar bahan-bahan tersebut tidak diijinkan digunakan dalam bahan
pangan dengan alasan mengganggu kesehatan manusia. Beberapa bahan kimia yang
diijinkan dalam jumlah sedikit adalah natrium benzoat, asam sorbat, natrium
atau kalium propionat, etil format, sulfur oksida dll.
Bahan
pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah
rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat proses fermentasi,
pengasaman atau penguraian yang disebabkan oleh mikroba. Penggunaan pengawet
dalam makanan harus tepat baik jnis maupun dosisnya. Suatu bahan pengawet
mungkin efektif untuk mengawetkan bahan pangan tertentu, tetapi tidak efektif
untuk jenis yang lainnya.
Di
Amerika badan FDA (Food and Drug Administration) mengatur penggunaan bahan
kimia untuk pengawet pangan. Penggunaan bahan kimia sebagai pengawet harus
sesuai dengan peraturan FDA. Beberapa antibiotik yang digunakan dalam
pengawetan bahan pangan antara lain penisilin, khlor tetrasiklin, oksi
tetrasiklin, bacitrasin dan subtilin. Di AS khlor tetrasiklin dan oksi
tetrasiklin diijinkan FDA untuk pengawet daging ayam yang belum dimasak. Di AS
tidak ada antibiotik yang diijinkan langsung sebagai bahan pengawet pangan,
tetapi antibiotika diijinkan untuk ditambahkan dalam makanan ternak.
A.
Karbokdioksida
Karbondioksida
dapat digunakan sebagai bahan preservatif untuk daging dan produk daging karena
mempunyai pengaruh bakteriostatik dan fungistatik. Karbondioksida menghambat
pertumbuhan beberapa bakteri anaerobik, ragi dan jamur. Bakteri fakultatif bisa
juga dihambat oleh CO2 sedangkan bakteri asam laktat dan bakteri
anaerobik tidak terpengaruh oleh CO2 . Konsentrasi maksimum
yang digunakan adalah 25%.
B.
Ozon
Ozon
merupakan substansi bakterisidal untuk mikroorganisme yang terdapat di udara
atau yang terdapat pada cairan. Mikroorganisme aerobik secara relatif
lebih tahan terhadap ozon daripada bakteri fakultatif dan anaerobik. Makin
rendah temperatur penyimpanan, makin besar keefektifan ozon. Ozon sangat toksik
karena meningkatkan perkembangan ransiditas oksidatif seperti sinar ultra
violet.
Proses
sterilisasi pangan umumnya masih memanfaatkan panas atau suhu tinggi yang
dapat merusak bahan baku. Apa yang tampak cantik di permukaan belum tentu
cantik pula apa yang ada di dalamnya. Itu mungkin ungkapan yang tepat untuk
menggambarkan buah-buahan atau sayuran yang tampak segar dengan warnanya yang
cerah namun belum tentu berefek positif terhadap kesehatan. Katakanlah tomat.
Buah yang satu ini selalu tampak terlihat segar dengan warnanya yang oranye
kemerahan. Namun, tomat ini belum tentu aman. Agar tomat selalu bagus petani
kerap menyemprotkan pestisida. Hama yang ditakutkan petani memang tidak bisa merusak
tomat. Namun, sifat pestisida yang tidak bisa dibersihkan oleh air malah akan
menimbulkan efek negatif bagi mereka yang mengonsumsinya. Lalu, bagaimana
mengatasi masalah tersebut? Apa jaminan yang bisa dipegang oleh konsumen buah
dan sayur bahwa makanan yang mereka konsumsi aman dari zat-zat berbahaya
seperti pestisida?
Saat ini, telah dikembangkan suatu alat pengawet dengan menggunakan ozon. Alat ini selain membersihkan pestisida juga mampu menangkal bakteri atau virus yang dilakukan dalam proses pengawetan sayuran dan buah-buahan. Pada dasarnya, setiap makanan dapat terkontaminasi bakteri atau virus setelah melalui proses panjang, mulai dari pemilahan bahan baku, proses pemasakan, penyimpanan, kebersihan tempat pemrosesan, dan transportasi. Namun, proses sterilisasi pada bidang industri pangan umumnya masih berkisar pada pemanfaatan panas atau suhu tinggi, yang dalam beberapa proses pengolahan dapat merusak bahan baku. Telah ditemukan sebuah alat teknologi ozon yang memanfaatkan teknologi ozon pada proses sterilisasi dengan memanfaatkan air yang mengandung ozon. Menurut hasil penelitian, teknologi ozon dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pengawet makanan yang aman. Teknologi ini bisa menggantikan formalin yang kerap digunakan pedagang.
Teknologi
ozon yang dikembangkan menggunakan metode pengolahan sterilisasi dengan
menggunakan air berozon. Ozon merupakan spesis aktif dari oksigen yang memiliki
oksidasi potensial 2,07 V, lebih tinggi dibandingkan chlorine yang hanya
memiliki oksidasi potensial 1,36 V. Dengan oksidasi potensial yang tinggi, ozon
dapat dimanfaatkan untuk membunuh bakteri, menghilangkan warna, bau, dan
menguraikan senyawa organik. ”Kelebihannya dibandingkan formalin, ozon langsung
dapat menjadi oksigen. Tidak ada zat yang tertinggal di makanan,” cetus dia.
Alat ini didesain dengan sederhana. Buah-buahan ataupun sayuran dimasukkan ke
dalam sebuah kotak kaca lalu disemprot dengan menggunakan air berozon. Lama
pencucian cara ini hanya sekitar 15 menit. Setelah pencucian, ozon tersebut akan
bereaksi mengawetkan sayur atau buahan seperti tomat selama tiga pekan.
Pengawetan ini tidak akan mengubah warna maupun kandungan gizi. Karena,
kandungan ozonnya sendiri akan hilang dengan cara penguapan. Karenanya, jika
ada minuman berozon maka itu artinya bukan makanan yang mengandung ozon namun
minuman itu dibuat dengan menggunakan ozon. Sayangnya, sampai sekarang
teknologi ini belum bisa digunakan untuk makanan olahan seperti tahu ataupun
baso. Karena, karakter ozon pada makanan olahan akan bereaksi terlebih dahulu
dengan olahan tersebut. Sejauh ini, bahan baku yang sudah diujicobakan adalah
tomat, paprika, cabe, dan sejumlah jenis sayuran. Alat ini sudah digunakan di
perkebunan Lembang dan Pangalengan. Penggunaan teknologi tersebut bisa
mengurangi beban biaya produksi. Kini, alat yang digunakan memang masih sangat
sederhana. Namun, dalam waktu dekat, desain alat akan diperbesar sehingga bisa
digunakan untuk produksi sayuran dan buah-buahan dalam jumlah yang besar.
Tempatnya berbentuk memanjang, seperti mesin-mesin di pabrik. Lalu tomat
tersebut akan masuk dan disemprot air berozon.
Teknologi ini juga bagus digunakan
untuk pengawetan ikan dan makanan tanpa olahan. Namun untuk
ikan, pengawetan di tingkat petani akan sulit. Selama ini nelayan menggunakan
pengawetan dengan cara menggunakan es. ”Saat ke laut, es nya sudah meleleh,”
katanya. Untuk itu, sejauh ini pengawetan masih digunakan untuk sayuran dan
buah-buahan. Rumah tangga pun bisa memiliki alat tersebut. Jika membuat sendiri
maka hanya akan mengeluarkan sepertiga dari harga yang dipasarkan yaitu sebesar
Rp 20 juta per unit. Ozon berasal dari oksigen yang dimasukkan ke listrik lalu
keluar ozon (O3). Jika ozon terkena matahari akan menjadi oksigen lagi. Untuk
bisa membunuh bakteri hanya diperlukan 0,1 gram ozon. Sedangkan alat tersebut
sekali produksi bisa menghasilkan 20 liter air atau untuk 30 kg tomat.
Iktisar: a. Sampai sekarang teknologi ini belum bisa digunakan untuk
makanan olahan seperti tahu ataupun baso. Karena, karakter ozon pada makanan olahan
akan bereaksi terlebih dahulu dengan olahan tersebut. b. Sejauh ini,
bahan baku yang sudah diujicobakan adalah tomat, paprika, cabe, dan sejumlah
jenis sayuran.
C.
Asam
Mikroba
sensitif terhadap asam karena dapat menyebabkan denaturasi protein bakteri.
Asam yang dihasilkan oleh salah satu mikroba selama fermentasi biasanya akan
menghambat perkembangbiakan mikroba lainnya. Oleh karena itu fermentasi dapat
digunakan untuk mengawetkan bahan pangan dengan cara melawan bakteri
proteolitik atau bakteri pembusuk lainnya.
Asam
dalam bahan pangan dapat dihasilkan dengan menambahkan kultur pembentuk asam,
atau menambahkan langsung asam sitrat atau asam fosfat. Beberapa makanan
seperti tomat, air jeruk dan apel mengandung asam yang masing-masing mempunyai
pengaruh yang berbeda-beda sebagai bahan pengawet. Hal ini dipengaruhi oleh
perbedaan derajat keasaman (pH). Asam yang dikombinasikan dengan panas akan
menyebabkan panas tersebut lebih efektif terhadap mikroba. Karena pH berperan
terhadap daya hambat pertumbuhan mikroba pembusuk, maka dibagi menurut tingkat
keasamannya:
a. bahan pangan
berasam rendah (pH tinggi) dengan pH di atas 4,5
b. bahan pangan asam
mempunyai pH 4,0-4,5
c. bahan pangan
berasam tinggi (pH rendah) mempunyai pH dibawah 4,0
Mikroba
berspora umumnya tidak dapat hidup dan berkembang biak pada pH lebih rendah
dari 4,0 dan mikroba berspora seperti Clostridium botulinum tidak dapat
hidup pada pH lebih rendah dari 4,6.
Asam
yang biasa digunakan untuk pengawet antara lain:
a. benzoat (dalam
bentuk asam, garam kalium atau natrium benzoat), yaitu bahan yang digunakan
untuk mengawetkan minuman ringan dan kecap (600 mg/kg) serta sari buah, saus
tomat, saus sambal, jem, jelly, manisan, agar dan makanan lain ( 1 g / kg).
b. Propionat (dalam bentuk
asam, garam kalium atau natrium propionat) yaitu bahan pengawet untuk roti ( 2
g / kg ) dan keju olahan ( 3 g / kg ).
c. Nitrit dan nitrat
(dalam bentuk garam natrium atau kalium nitrit dan nitrat) yaitu bahan pengawet
untuk daging olahan seperti sosis ( 125 mg nitrit/kg atau 500 mg nitrat/kg),
corned dalam kaleng ( 50 mg nitrit/kg) atau keju (50 mg nitrat/kg)
d. Sorbat (dalam
bentuk garam kalium atau kalsium sorbat) yaitu bahan pengawet untuk margarin,
pekatan sari buah dan keju ( 1 g/kg).
e. Sulfit (dalam bentuk
garam kalium atau natrium bisulfit atau metabisulfit) yaitu bahan pengawet
untuk potongan kentang goreng (500 mg/kg), udang beku (100 mg/kg) dan pekatan
sari nenas (500 mg/kg).
Pada
saat ini masih banyak ditemukan penggunaan bahan pengawet yang dilarang dan
berbahaya bagi kesehatan misalnya boraks dan formalin. Boraks banyak digunakan
untuk baso, mie basah, oisang molen, kemoer, buras, siomay, lontong, ketupat
dan pangsit. Selain bertujuan untuk mengawetkan juga dapat membuat makanan
menjadi lebih kenyal teksturnya dan memperbaiki penampilan. Akan tetapi boraks
sangat berbahaya bagi kesehatan, bersifat antiseptik, bakteriostatik,
fungistatik. Formalin juga banyak disalahgunakan untuk mengawetkan tahu
dan mie basah. Formalin sebenarnya merupakan bahan untuk mengawetkan mayat dan
organ tubuh dan sangat berbahaya bagi kesehatan oleh karena itu dalam
peraturan Menteri Kesehatan RI No 722/Menkes/Per/IX/88 formalin merupakan salah
satu bahan yang dilarang digunakan sebagai BTP (Bahan Tambahan Pangan).
D.
Gula
Rasa
manis, seperti halnya rasa asin, merupakan rasa yang sangat dikenal. Rasa manis
terutama disebabkan oleh gula, yaitu jenis dari karbohidrat dapat larut (dalam
air) yang berukuran kecil, terdapat dalam buah-buahan, tanaman dan produk alam
lainnya. Gula yang umum dijumpai adalah fruktosa (levulosa, gula buah), maltosa
(gula malt), laktosa (gula susu), glukosa (dekstrosa) dan sakarosa
(sukrosa, gula meja yang biasa kita kenal). Sakarosa terutama digunakan dalam
berbagai makanan olahan. Gula ini bisa didapatkan dari tebu ataupun dari bit.
Gula
tidak hanya digunakan dalam makanan karena rasanya yang manis, tetapi juga
karena hasil reaksi yang terjadi selama pemanasan; berupa karamel dan produk Maillard.
Karamel diperoleh dari pemanasan gula secara langsung tanpa adanya bahan
tambahan ataupun air. Karamel yang dihasilkan berwarna coklat hingga hitam dan
memiliki rasa yang lezat. Produk Maillard dihasilkan dari pemanasan gula
dan protein. Ini merupakan reaksi yang sangat kompleks, menghasilkan berbagai
cita rasa yang khas seperti flavor roti, cookies, popcorn,
daging goreng, dll.
Gula
dapat mengikat air secara efisien. Oleh karenanya penambahan gula ke dalam
sebuah produk akan memberikan efek pengawetan karena air tidak lagi tersedia
untuk pertumbuhan organisme pembusuk. Pengawetan buah-buahan ataupun
produk-produk lainnya dengan gula (seperti selai) atau madu telah dipraktekkan
selama lebih dari 2000 tahun. Gula merupakan bagian dasar yang penting pada
berbagai makanan olahan. Permen tanpa gula akan kehilangan volumenya hingga
60%, sedangkan berbagai jenis cake akan kehilangan 15-30% volumenya
tanpa adanya gula.
0 komentar:
Posting Komentar