Selasa, 27 Februari 2018

PENGAWETAN DENGAN BAHAN KIMIA



PENGAWETAN DENGAN BAHAN KIMIA

Banyak bahan kimia yang dapat membunuh mikroba atau mencegah pertumbuhannya, tetapi sebagian besar bahan-bahan tersebut tidak diijinkan digunakan dalam bahan pangan dengan alasan mengganggu kesehatan manusia. Beberapa bahan kimia yang diijinkan dalam jumlah sedikit adalah natrium benzoat, asam sorbat, natrium atau kalium propionat, etil format, sulfur oksida dll.

Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat proses fermentasi, pengasaman atau penguraian yang disebabkan oleh mikroba. Penggunaan pengawet dalam makanan harus tepat baik jnis maupun dosisnya. Suatu bahan pengawet mungkin efektif untuk mengawetkan bahan pangan tertentu, tetapi tidak efektif untuk jenis yang lainnya.

Di Amerika badan FDA (Food and Drug Administration) mengatur penggunaan bahan kimia untuk pengawet pangan. Penggunaan bahan kimia sebagai pengawet harus sesuai dengan peraturan FDA. Beberapa antibiotik yang digunakan dalam pengawetan bahan pangan antara lain penisilin, khlor tetrasiklin, oksi tetrasiklin, bacitrasin dan subtilin. Di AS khlor tetrasiklin dan oksi tetrasiklin diijinkan FDA untuk pengawet daging ayam yang belum dimasak. Di AS tidak ada antibiotik yang diijinkan langsung sebagai bahan pengawet pangan, tetapi antibiotika diijinkan untuk ditambahkan dalam makanan ternak.

A. Karbokdioksida
Karbondioksida dapat digunakan sebagai bahan preservatif untuk daging dan produk daging karena mempunyai pengaruh bakteriostatik dan fungistatik. Karbondioksida menghambat pertumbuhan beberapa bakteri anaerobik, ragi dan jamur. Bakteri fakultatif bisa juga dihambat oleh CO2 sedangkan bakteri asam laktat dan bakteri anaerobik tidak terpengaruh oleh CO2 .  Konsentrasi maksimum yang digunakan adalah 25%.

B. Ozon
Ozon merupakan substansi bakterisidal untuk mikroorganisme yang terdapat di udara atau yang terdapat pada cairan. Mikroorganisme aerobik secara relatif  lebih tahan terhadap ozon daripada bakteri fakultatif dan anaerobik. Makin rendah temperatur penyimpanan, makin besar keefektifan ozon. Ozon sangat toksik karena meningkatkan perkembangan ransiditas oksidatif seperti sinar ultra violet.
Proses  sterilisasi  pangan umumnya masih memanfaatkan panas atau suhu tinggi yang dapat merusak bahan baku. Apa yang tampak cantik di permukaan belum tentu cantik pula apa yang ada di dalamnya. Itu mungkin ungkapan yang tepat untuk menggambarkan buah-buahan atau sayuran yang tampak segar dengan warnanya yang cerah namun belum tentu berefek positif terhadap kesehatan. Katakanlah tomat. Buah yang satu ini selalu tampak terlihat segar dengan warnanya yang oranye kemerahan. Namun, tomat ini belum tentu aman. Agar tomat selalu bagus petani kerap menyemprotkan pestisida. Hama yang ditakutkan petani memang tidak bisa merusak tomat. Namun, sifat pestisida yang tidak bisa dibersihkan oleh air malah akan menimbulkan efek negatif bagi mereka yang mengonsumsinya. Lalu, bagaimana mengatasi masalah tersebut? Apa jaminan yang bisa dipegang oleh konsumen buah dan sayur bahwa makanan yang mereka konsumsi aman dari zat-zat berbahaya seperti pestisida?

Saat ini, telah dikembangkan suatu alat pengawet dengan menggunakan ozon. Alat ini selain membersihkan pestisida juga mampu menangkal bakteri atau virus yang dilakukan dalam proses pengawetan sayuran dan buah-buahan. Pada dasarnya, setiap makanan dapat terkontaminasi bakteri atau virus setelah melalui proses panjang, mulai dari pemilahan bahan baku, proses pemasakan, penyimpanan, kebersihan tempat pemrosesan, dan transportasi. Namun, proses sterilisasi pada bidang industri pangan umumnya masih berkisar pada pemanfaatan panas atau suhu tinggi, yang dalam beberapa proses pengolahan dapat merusak bahan baku. Telah ditemukan sebuah alat teknologi ozon yang memanfaatkan teknologi ozon pada proses sterilisasi dengan memanfaatkan air yang mengandung ozon. Menurut hasil penelitian, teknologi ozon dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pengawet makanan yang aman. Teknologi ini bisa menggantikan formalin yang kerap digunakan pedagang.

Teknologi ozon yang dikembangkan menggunakan metode pengolahan sterilisasi dengan menggunakan air berozon. Ozon merupakan spesis aktif dari oksigen yang memiliki oksidasi potensial 2,07 V, lebih tinggi dibandingkan chlorine yang hanya memiliki oksidasi potensial 1,36 V. Dengan oksidasi potensial yang tinggi, ozon dapat dimanfaatkan untuk membunuh bakteri, menghilangkan warna, bau, dan menguraikan senyawa organik. ”Kelebihannya dibandingkan formalin, ozon langsung dapat menjadi oksigen. Tidak ada zat yang tertinggal di makanan,” cetus dia. Alat ini didesain dengan sederhana. Buah-buahan ataupun sayuran dimasukkan ke dalam sebuah kotak kaca lalu disemprot dengan menggunakan air berozon. Lama pencucian cara ini hanya sekitar 15 menit. Setelah pencucian, ozon tersebut akan bereaksi mengawetkan sayur atau buahan seperti tomat selama tiga pekan. Pengawetan ini tidak akan mengubah warna maupun kandungan gizi. Karena, kandungan ozonnya sendiri akan hilang dengan cara penguapan. Karenanya, jika ada minuman berozon maka itu artinya bukan makanan yang mengandung ozon namun minuman itu dibuat dengan menggunakan ozon. Sayangnya, sampai sekarang teknologi ini belum bisa digunakan untuk makanan olahan seperti tahu ataupun baso. Karena, karakter ozon pada makanan olahan akan bereaksi terlebih dahulu dengan olahan tersebut. Sejauh ini, bahan baku yang sudah diujicobakan adalah tomat, paprika, cabe, dan sejumlah jenis sayuran. Alat ini sudah digunakan di perkebunan Lembang dan Pangalengan. Penggunaan teknologi tersebut bisa mengurangi beban biaya produksi. Kini, alat yang digunakan memang masih sangat sederhana. Namun, dalam waktu dekat, desain alat akan diperbesar sehingga bisa digunakan untuk produksi sayuran dan buah-buahan dalam jumlah yang besar. Tempatnya berbentuk memanjang, seperti mesin-mesin di pabrik. Lalu tomat tersebut akan masuk dan disemprot air berozon.

Teknologi ini juga bagus digunakan untuk pengawetan ikan dan makanan tanpa olahan. Namun untuk ikan, pengawetan di tingkat petani akan sulit. Selama ini nelayan menggunakan pengawetan dengan cara menggunakan es. ”Saat ke laut, es nya sudah meleleh,” katanya. Untuk itu, sejauh ini pengawetan masih digunakan untuk sayuran dan buah-buahan. Rumah tangga pun bisa memiliki alat tersebut. Jika membuat sendiri maka hanya akan mengeluarkan sepertiga dari harga yang dipasarkan yaitu sebesar Rp 20 juta per unit. Ozon berasal dari oksigen yang dimasukkan ke listrik lalu keluar ozon (O3). Jika ozon terkena matahari akan menjadi oksigen lagi. Untuk bisa membunuh bakteri hanya diperlukan 0,1 gram ozon. Sedangkan alat tersebut sekali produksi bisa menghasilkan 20 liter air atau untuk 30 kg tomat. Iktisar:  a. Sampai sekarang teknologi ini belum bisa digunakan untuk makanan olahan seperti tahu ataupun baso. Karena, karakter ozon pada makanan olahan akan bereaksi terlebih dahulu dengan olahan tersebut.  b. Sejauh ini, bahan baku yang sudah diujicobakan adalah tomat, paprika, cabe, dan sejumlah jenis sayuran.

C. Asam
Mikroba sensitif terhadap asam karena dapat menyebabkan denaturasi protein bakteri. Asam yang dihasilkan oleh salah satu mikroba selama fermentasi biasanya akan menghambat perkembangbiakan mikroba lainnya. Oleh karena itu fermentasi dapat digunakan untuk mengawetkan bahan pangan dengan cara melawan bakteri proteolitik atau bakteri pembusuk lainnya.

Asam dalam bahan pangan dapat dihasilkan dengan menambahkan kultur pembentuk asam, atau menambahkan langsung asam sitrat atau asam fosfat. Beberapa makanan seperti tomat, air jeruk dan apel mengandung asam yang masing-masing mempunyai pengaruh yang berbeda-beda sebagai bahan pengawet. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan derajat keasaman (pH). Asam yang dikombinasikan dengan panas akan menyebabkan panas tersebut lebih efektif terhadap mikroba. Karena pH berperan terhadap daya hambat pertumbuhan mikroba pembusuk, maka dibagi menurut tingkat keasamannya:
a.    bahan pangan berasam rendah (pH tinggi) dengan pH di atas 4,5
b.    bahan pangan asam mempunyai pH 4,0-4,5
c.    bahan pangan berasam tinggi (pH rendah) mempunyai pH dibawah 4,0
Mikroba berspora umumnya tidak dapat hidup dan berkembang biak pada pH lebih rendah dari 4,0 dan mikroba berspora seperti Clostridium botulinum tidak dapat hidup pada pH lebih rendah dari  4,6.

Asam yang biasa digunakan untuk pengawet antara lain:
a.    benzoat (dalam bentuk asam, garam kalium atau natrium benzoat), yaitu bahan yang digunakan untuk mengawetkan minuman ringan dan kecap (600 mg/kg) serta sari buah, saus tomat, saus sambal, jem, jelly, manisan, agar dan makanan lain ( 1 g / kg).
b.    Propionat (dalam bentuk asam, garam kalium atau natrium propionat) yaitu bahan pengawet untuk roti ( 2 g / kg ) dan keju olahan ( 3 g / kg ).
c.    Nitrit dan nitrat (dalam bentuk garam natrium atau kalium nitrit dan nitrat) yaitu bahan pengawet untuk daging olahan seperti sosis ( 125 mg nitrit/kg atau 500 mg nitrat/kg), corned dalam kaleng ( 50 mg nitrit/kg) atau keju (50 mg nitrat/kg)
d.    Sorbat (dalam bentuk garam kalium atau kalsium sorbat) yaitu bahan pengawet untuk margarin, pekatan sari buah dan keju ( 1 g/kg).
e.    Sulfit (dalam bentuk garam kalium atau natrium bisulfit atau metabisulfit) yaitu bahan pengawet untuk potongan kentang goreng (500 mg/kg), udang beku (100 mg/kg) dan pekatan sari nenas (500 mg/kg).

Pada saat ini masih banyak ditemukan penggunaan bahan pengawet yang dilarang dan berbahaya bagi kesehatan misalnya boraks dan formalin. Boraks banyak digunakan untuk baso, mie basah, oisang molen, kemoer, buras, siomay, lontong, ketupat dan pangsit. Selain bertujuan untuk mengawetkan juga dapat membuat makanan menjadi lebih kenyal teksturnya dan memperbaiki penampilan. Akan tetapi boraks sangat berbahaya bagi kesehatan, bersifat antiseptik, bakteriostatik, fungistatik.  Formalin juga banyak disalahgunakan untuk mengawetkan tahu dan mie basah. Formalin sebenarnya merupakan bahan untuk mengawetkan mayat dan organ tubuh dan sangat  berbahaya bagi kesehatan oleh karena itu dalam peraturan Menteri Kesehatan RI No 722/Menkes/Per/IX/88 formalin merupakan salah satu bahan yang dilarang digunakan sebagai BTP (Bahan Tambahan Pangan).

D. Gula
Rasa manis, seperti halnya rasa asin, merupakan rasa yang sangat dikenal. Rasa manis terutama disebabkan oleh gula, yaitu jenis dari karbohidrat dapat larut (dalam air) yang berukuran kecil, terdapat dalam buah-buahan, tanaman dan produk alam lainnya. Gula yang umum dijumpai adalah fruktosa (levulosa, gula buah), maltosa (gula malt), laktosa (gula susu), glukosa (dekstrosa) dan sakarosa (sukrosa, gula meja yang biasa kita kenal). Sakarosa terutama digunakan dalam berbagai makanan olahan. Gula ini bisa didapatkan dari tebu ataupun dari bit.
Gula tidak hanya digunakan dalam makanan karena rasanya yang manis, tetapi juga karena hasil reaksi yang terjadi selama pemanasan; berupa karamel dan produk Maillard. Karamel diperoleh dari pemanasan gula secara langsung tanpa adanya bahan tambahan ataupun air. Karamel yang dihasilkan berwarna coklat hingga hitam dan memiliki rasa yang lezat. Produk Maillard dihasilkan dari pemanasan gula dan protein. Ini merupakan reaksi yang sangat kompleks, menghasilkan berbagai cita rasa yang khas seperti flavor roti, cookies, popcorn, daging goreng, dll.

Gula dapat mengikat air secara efisien. Oleh karenanya penambahan gula ke dalam sebuah produk akan memberikan efek pengawetan karena air tidak lagi tersedia untuk pertumbuhan organisme pembusuk. Pengawetan buah-buahan ataupun produk-produk lainnya dengan gula (seperti selai) atau madu telah dipraktekkan selama lebih dari 2000 tahun. Gula merupakan bagian dasar yang penting pada berbagai makanan olahan. Permen tanpa gula akan kehilangan volumenya hingga 60%, sedangkan berbagai jenis cake akan kehilangan 15-30% volumenya tanpa adanya gula.

0 komentar:

Posting Komentar