Selasa, 17 Februari 2015

Bahaya Mikotoksin



Bahaya Mikotoksin


Banyak Pelaku Industri Perikanan Tidak Terlalu Fokus Terhadap Bahaya Mikotoksin

Mikotoksin, cukup familiar kita mendengar istilah ini. Mikotoksin bisa dimaknai sebagai zat metabolit sekunder yang dihasilkan oleh jamur dan bersifat racun (toksik).

Mikotoksin kian menjadi buah bibir di kalangan dunia perikanan. Meskipun efeknya pada ikan dan udang belum dipelajari secara meluas layaknya di sektor peternakan, tetapi jamur tersebut terbukti berdampak negatif pada perkembangan industri perikanan. Setidaknya itulah pendapat pakar akuakultur dari Biomin Singapura, Pedro Encarnacao.

”Saat ini tren penggunaan sumber protein nabati terus meningkat karena mahalnya sumber protein hewani seperti tepung ikan. Ini akan membuat risiko mikotoksin pada pakan ikan dan udang turut meningkat. Ditambah lagi dengan terjadinya perubahan cuaca yang menyebabkan kontaminasi jamur pada bahan baku pakan semakin tinggi,” jelas Pedro.

Senada dengan itu, Technical Sales Manager Aquaculture PT Alltech Biotechnology Indonesia, Fajar Sutriandhi mengatakan, kontaminasi mikotoksin kerap ditemukan pada bahan baku pakan dan pakan jadi. Celakanya, tidak ada batas toleransi aman dari berbagai jenis mikotoksin itu.

          
Bahaya Aflatoxin
Untuk jenis mikotoksin yang mengancam komoditas perikanan, Fajar menyebutkan antara lain Aflatoxin, Zearalenone, Deoxynivalenol (DON), Fumonisin, T-2 toxin, dan Ochratoxin. Jenis-jenis tersebut berpotensi menurunkan tingkat pertumbuhan serta status kesehatan ikan dan udang.

Aflatoksin merupakan salah satu contoh jenis mikotoksin yang paling banyak dibicarakan di Indonesia, meski sebenarnya masih ada lebih dari 300 mikotoksin (Dr Simon M Shane).

Terkait beberapa jenis mikotoksin itu, Pedro menginformasikan, berdasarkan survei mikotoksin oleh tim Biomin di wilayah Asia Tenggara pada bahan baku pakan, Aflatoxin adalah salah satu mikotoksin yang paling banyak ditemukan. Selain itu juga ada Fumonisin, mikotoksin yang dihasilkan oleh jamur Fusarium.
Mikotoksin dapat muncul sepanjang alur pengadaan pakan, mulai penanaman, panen sampai penyimpanan. Bisa jadi sebelum bahan baku pakan dipanen, sudah terkontaminasi mikotoksin. Fusarium, penghasil mikotoksin jenis zearalenone, trichothecenes, fumonisin, merupakan contoh jamur yang paling sering mengkontaminasi selama masa penanaman. Sedangkan jamur yang sering mengkontaminasi selama di gudang penyimpanan ialah Aspergillus dan Penicillium yang menghasilkan aflatoksin dan ochratoksin.
Berdasarkan data survei mikotoksin di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam) pada 2009, menunjukkan bahwa aflatoksin B1 dan fumonisin paling sering ditemukan mengkontaminasi bahan baku ransum (jagung, gandum, bekatul, bungkil kedelai, corn gluten meal, DDGS) maupun ransum jadi dengan persentase sampel positif mencapai 52% dan 58%.

Lanjut Pedro, Aflatoxin adalah salah satu mikotoksin yang paling beracun, terutama Aflatoxin B1 (AFB1). Urainya, insang pucat, darah membeku, anemia, pertumbuhan terhambat dan bobot badan rendah merupakan gejala klinis dari jenis mikotoksin yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus ini. ”AFB1 sangat beracun karena bersifat karsinogenik (memicu kanker) dan immunosupresif (menekan sistem kekebalan tubuh),” tukasnya.

Ikan air tawar seperti jenis catfish (lele dan patin), nila, serta udang sangat sensitif terhadap AFB1, sebut Pedro. Dari hasil penelitian Jantrarotai dan Lovell pada 1990, catfish yang diberi pakan dengan kandungan 10 ppm AFB1 per kg ransum selama 10 minggu bisa menurunkan laju pertumbuhan dan mengakibatkan internal lesi (luka).

Lalu pada nila, 100 ppm AFB1 bisa menyebabkan penurunan bobot badan dan nekrosis pada hati (Tuan et al., 2002), dan bila konsentrasinya dinaikkan jadi 200 ppb, tingkat kematiannya sebesar 17 % (El-Banna et al., 1992). Sedangkan pada udang (vannamei dan windu), AFB1 mengakibatkan beberapa abnormalitas seperti laju pertumbuhan rendah, tingkat pencernaan rendah, kelainan fisiologis, dan perubahan histopatologi terutama pada jaringan hepatopankreas.

Strategi Atasi Mikotoksin
Mikotoksin selalu terkait kondisi penyimpanan. Kata Fajar, penyimpanan bahan baku pakan dan pakan jadi yang sesuai dengan Good Management Practices (GMP) merupakan sebuah keharusan. ”Idealnya bahan baku dan pakan tersebut disimpan di tempat yang kering dengan kadar air kurang dari 10 % dan temperatur sekitar 260Celcius,” terangnya.
Selain itu Fajar juga menyarankan untuk menggunakan mycotoxins adsorbent (pengikat mikotoksin). Beberapa pengikat mikotoksin yang umum digunakan adalah clay seperti alumino-silikat dan zeolit, serat tanaman alfalfa, enzim, suplementasi vitamin C atau α-tocopherol dan polymeric glucomannan.

Tambah Pedro, untuk mendeaktivasi jenis mikotoksin yang tidak bisa diikat seperti Ochratoxin, Zearalenone dan kelompok Trichothecenes, bisa menggunakan aplikasi biotransformasi. ”Aplikasi ini menggunakan mikroorganisme atau enzim spesifik untuk mendegradasi struktur racun menjadi metabolit yang tak beracun,” jelasnya.  
Kerugian yang besar akibat kontaminasi mikotoksin ini memaksa kita melakukan berbagai upaya untuk mencegahnya. Yah, untuk kasus mikotoksin pencegahan tumbuhnya jamur menjadi langkah awal terpenting yang harus kita lakukan.
Mengapa? Saat jamur telah tumbuh pada bahan baku pakan maka bisa dipastikan mikotoksin telah terbentuk. Dan lagi, untuk membasmi jamur sangatlah mudah, misalnya dengan pemanasan, namun tidak demikian dengan mikotoksin yang memerlukan treatment yang lebih banyak, baik perlakuan fisik, kimia maupun biologi, sehingga kurang efisien.
Beberapa langkah pencegahan yang bisa kita lakukan ialah
·         Melakukan pemeriksaan kualitas pakan secara rutin, terutama saat membeli  pakan , hendaknya kita tidak segan untuk mereject jika ditemukan dalam pakan  terkontaminasi jamur, mengingat fenomena jamur ini seperti fenomena gunung es. Selain itu, pastikan kadar airnya tidak terlalu tinggi, > 14% sehingga bisa menekan pertumbuhan jamur
·         Atur manajemen penyimpanan pakan. Berikan alas (pallet) pada tumpukan pakan dan atur posisi penyimpanan sesuai dengan waktu kedatangannya (first in first out, FIFO). Perhatikan suhu dan kelembaban tempat penyimpanan. Hindari penggunaan karung tempat paka secara berulang dan bersihkan gudang secara rutin. Saat ditemukan serangga, segera atasi mengingat serangga mampu memicu tumbuhnya jamur.
·         Saat kondisi cuaca tidak baik, terutama musim penghujan, tambahkan mold inhibitors (penghambat pertumbuhan jamur), seperti asam organik atau garam dari asam organik tersebut. Asam propionat merupakan mold inhibitors yang sering digunakan.
Saat jamur dan mikotoksin telah ditemukan mengkontaminasi ransum, beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk menekan efek mikotoksin ini antara lain :
·         Membuang ransum yang terkontaminasi jamur dengan konsentrasi tinggi, mengingat mikotoksin ini sifatnya sangat stabil
·         Jika yang terkontaminasi sedikit, bisa dilakukan pencampuran dengan bahan baku atau pakan yang belum terkontaminasi. Tujuannya tidak lain untuk menurunkan konsentrasi mikotoksin. Namun yang perlu diperhatikan ialah bahan baku ini hendaknya segera diberikan ke ikan agar konsentrasi mikotoksin tidak meningkat

0 komentar:

Posting Komentar