Rabu, 18 Februari 2015

TEKNIK PEMBENIHAN KEPITING BAKAU



TEKNIK PEMBENIHAN KEPITING BAKAU




Tehnik Pembenihan kepiting bakau telah berhasil di coba kan pada tahun 1992 -1994 di Balai Budidaya Air Payau Jepara dan di Balai Besar Budidaya Pantai, Gondol, Bali. Namun demikian sampai sekarang tehnologi pembenihan komoditi yang sebenarnya mendapat pasaran cukup besar dan menjanjikan di luar negeri ini, masih belum mendapat tanggapan dari para pengusaha swasta, sehingga belum dikembangkan.

Kendala yang dihadapi pada waktu itu , sudah diidentifikasi dan masih perlu untuk dilakukan penelitian lebih lanjut. Kendala tersebut a.l . derajat kehidupan (sintasan) larva menjadi megalopa masih rendah yaitu 3-5 % walaupun derajat penetasan telurnya tinggi, sedangkan seekor induk kepiting yang beratnya 100 gram dapat menghasilkan telur 1-1,5 juta butir. Penyebab dari mortalitas yang besar ini disebabkan a.l. oleh sifat kanibalisme (memakan sesamanya) . Sebenarnya sintasan yang rendah ini biasa terjadi pada pemeliharaan larva hewan- hewan air seperti udang windu, udang galah, vannamei, ikan kerapu , ikan kakap , dsb. namun demikian setelah berjalan beberapa waktu , ternyata kendala tehnis itu dapat diatasi , karena faktor manusia yaitu para pelaksana/tehnisi telah semakin terampil dan menguasai keadaan.

TEMPAT DAN WADAH PEMELIHARAAN

1. Lokasi
Panti Pembenihan Kepiting Bakau harus berlokasi di dekat pantai karena memerlukan air sebagai media kehidupan larva ialah air payau dengan kadar garam 25-35 ppt.; pH 7,5 – 8,5. Perlu adanya sumber air tawar yang jernih dan kuntitasnya mencukupi.Kegunaan air tawar ini untuk memcuci bak dan peralatan, untuk keperluan para pekerja sehari-hari .dan untuk mengencerkan kadar garam pada air media pemeliharaan itu sendiri bila diperlukan. 

Persyaratan lain seperti, bebas pencemaran , mudah dijangkau oleh akses komunikasi (jalan ) dan fasilitas yang mudah dan murah (listrik, tenaga kerja).

Memungkinkan untuk berproduksi sepanjang tahun ( minimal 8 bulan/tahun) .Bebas bencana alam dan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Daerah, sehingga tidak tumpang tindih dengan peruntukan pembangunan lainnya. Bebas dari gangguan keamanan pada umumnya Persyaratan tsb adalah lazim dibutuhkan oleh sesuatu Panti Pembenihan berbagai komoditas akuatik maupun bukan .

2. Prasarana, Tatak Letak dan Desain Bangunan 

Panti Pembenihan Kepiting Bakau memerlukan prasarana yang umum pada panti panti pembenihan udang terperinci sbb.:
a. Fasilitas pengadaaan air laut dan air tawar : berupa bangunan dan bak-bak untuk penyaringan air dilengkapi dengan system filter, system airasi.
b. Fasilitas bak-bak dibuat dari beton dan/atau fiber glass sesuai dengan kapasitasnya, untuk keperluan pemeliharaan calon induk, pematangan gonad, perkawinan; bak-bak penetasan telur (untuk induk yang mengerami), bak pemeliharaan larva ,megalopa dan crablets), bak kultur fitoplankton, zooplankton dan penetasan Artemia.
c. Bangunan pendukung : Bangsal tempat panen dan packing, laboratorium pemeriksaan kualitas air dan penyakit, persiapan pakan tambahan, gudang penyimpanan bahan kimia, obat-obat, dsb.
d. Bangunan pelengkap : kantor manajemen dan administrasi, asrama tehnisi, dapur, garasi, ruang pengepakan hasil, dsb.
e. Peralatan penting : seperti pompa- pompa penyedot/ celup untuk air laut dan air tawar, sesuai dengan kebutuhan, blower, unit mesin pembangkit listrik (Gen set), refrigerator, kendaraan roda-4 dan roda-2. telepon , computer, dsb.

Tata Letak dan Desain Bangunan
Tata letak dan desain bangunan diatur untuk memudahkan dan efisiensi pekerjaan. Bak-2 pemeliharaan harus dalam ruangan (indoor), memungkinkan pengaturan cahaya (matahari atau listrik) menurut kebutuhan, dilengkapi dengan fasilitas desinfeksi/ pencucian, karantina, dsb.
Panti Pembenihan untuk Kepiting bakau ini dapat menggunakan Panti pembenihan yang biasanya untuk pembenihan udang windu atau vannamei.

PEMATANGAN GONAD INDUK KEPITING BAKAU
1. Calon Induk
Kegiatan tehnik Pembenihan dimulai dari perolehan calon induk kepiting. Calon induk kepiting dapat diperoleh dari alam yaitu hasil penangkapan di tambak-tambak atau perairan hutan bakau di sepanjang pantai. Dapat juga calon induk di dapat dari penangkapan nelayan di laut. Kepiting yang dijadikan calon induk untuk pembenihan harus diseleksi yang telah dewasa yaitu yang ukuran karapasnya lebar tidak kurang dari 10 cm dan berat tak kurang dari 100 gram untuk yang betina; yang jantan berat minimum 120 gram dan panjang karapas 12 cm atau lebih. Ini disebabkan karena kepiting jantan tumbuh lebih cepat walaupun umurnya sama dengan yang betina.

Kepiting betina, abdomennya berbentuk segitiga yang lebar melipat dibawah (ventral) dari dadanya. Yang jantan abdomen berbentuk segitiga yang sempit, juga melipat di bagian ventral dada. Betina yang tertangkap di laut kebanyakan yang sudah dewasa dan menjelang perkawinan. Kesehatan calon induk harus diperhatikan yaitu dipilih yang kulitnya bersih tidak ada organisme penempel (fouling) . Anggota tubuh (kaki jalan, kaki renang, dll) lengkap dan tidak cacat. Kelengkapan anggota tubuh ini penting dan berperan dalam keberhasilan pemijahan dan penetasan telurnya.

Agar produksi benihnya bagus dan telurnya banyak, kepiting betina dipilih yang berat badannya 200 gram atau lebih , panjang karapas 8 cm dan lebar karapas 11-12 cm. CaLon induk jantan berat 300 gram , panjang dan lebar karapas 8 dan 11 cm. Perbedaan ukuran jantan dan betina ini disebabkan kepiting jantan lebih cepat tumbuh disbanding yang betina.
Dalam proses pematangan gonad , calon induk kepiting dipelihara didalam bak dengan kepadatan 5 ekor/M2 , dengan perbandingan jantan : betina 2 : 3.

Calon induk sebelum dimasukkan kedalam bak pemeliharaan induk perlu di adabtasi lebih dahulu didalam bak penampungan selama 3 hari. Adaptasi ini perlu untuk penyegaran kondisi calon induk karena pengangkutan. Kepiting yang pada umumnya dilakukan dengan system kering (lembab) . metoda penagangkutan kepiting hidup dengan system kering ini dimungkinkan bila jarak angkut cukup dekat : 1-3 jam perjalanan.

2. Pematangan gonad
Kepiting betina agak sukar mencapai kematangan gonad terutama diluar musim pemijahan alami. Untuk mempercepat kematangan gonad, dilakukan tehnik ablasi tangkai mata seperti dilakukan terhadap induk udang. (Mardjono dkk., 1992) .

Prinsip ablasi mata ialah dengan memanfaatkan system hormonal yang terjadi pada binatang kelas Krustasea pada umumnya, yang diungkapkan oleh Adiyodi dan Adiyodi, 1970 dalam Nurjana dkk. 1985; Mardjono dkk.1992).

Teori ini menjelaskan bahwa pada tangkai mata Dekapoda kelas Crustacea, terdapat kelenjar yang menghambat pematangan gonad yang disebut organ X. . Adanya rangsangan dari luar yang diterima oleh susunan syaraf pusat , memerintahkan organ X untuk mengeluarkan hormone yang disebut “Gonade Inhibiting Hormone “ (GIH) . GIH sebelum dilepas kedalam sirkulasi tubuh , di tampung lebih dahulu didalam Sinus Gland yang juga terletak pada tangkai mata . Fungsi dari GIH secara langsung menghambat perkembangan kelenjar hormone sex jantan (androgenic hormone) atau Ovarium pada binatang betina ; sehingga sperma pada jantan dan /atau sel telur pada betina terhambat perkembangannya. Dapat pula GIH mempengaruhi perkembangan gonada secara tidak langsung yakni dengan menghambat aktifitas Y-organ. Y-organ ialah kelenjar yang terletak pada pusat syaraf pada kepala dan juga pada thorax ; Y –organ menghasilkan hormone GSH (Gonade Stimulating Hormone) yang fungsinya mendorong perkembangan gonad yaitu merangsang pembentukan sperma pada individu jantan dan pembentukan sel telur pada individu betina.

Dengan demikian jika X Organ dihilangkan dengan cara pemotongan tangkai mata maka GIH tidak terbentuk, berarti tidak ada yang menghambat perkembangan telur dan sperma, berarti telur dan sperma akan cepat terbentuk . Akibat lain yang terjadi ialah Y organ bebas menghasilkan GSH sehingga ada rangsangan untuk pematangan gonad menjadi kuat atau dipercepat. . Fungsi lain dari Y organ ialah berperan pada tingkah laku birahi , mengendalikan proses penyerapan air, proses ganti kulit dan pembentukan zat warna.

Ablasi (pembuangan) tangkai mata (tentu termasuk juga menghilangkan bola mata) hanya pada individu betina , karena individu jantan organ sex-nya mudah dapat berkembang cepat dan sempurna secara alamiah , walaupun dipelihara didalam bak.

Uji coba telah dilakukan di Balai Budidaya Air Payau Jepara (Mardjono dkk.1992) mengungkapkan bahwa walaupun kepiting betina dapat matang gonad di tambak namun laju perkembangan gonadnya lambat bila dipelihara di dalam bak. Apabila dilakukan ablasi mata, maka individu betina tersebut lebih cepat mengalami pematangan gonad disusul dengan proses perkawinan dan kehamilan (pengeraman telur) , walaupun diluar musim kawin yang alamiah.

Musim pematangan gonad dan perkawinan kepiting bakau terjadi pada musim hujan ialah pada bulan November sampai Februari . selain bulan-bulan tsb. kepiting dapat matang gonad apabila di ablasi mata. Namun demikian diketahui juga bahwa kepiting dapat bertelur di berbagai bulan sepanjang tahun dibeberapa daerah, bilamana kondisi alam cukup menimbulkan perangsang.

Metoda ablasi mata pada kepiting sama dengan yang diterapkan pada udang windu yaitu memotong salah satu tangkai mata (unilateral ablation) pada betina saja.
Ablasi baik dilaksanakan siang maupun malam hari , namun dengan syarat ketika kepiting betina tidak sedang ganti kulit , melainkan harus sedang berkulit keras; juga agar dipilih kepiting betina yang sehat, dan tida bercacat pada anggota tubuhnya. Apabila berkulit lunak , luka karena ablasi akan menyebabkan keluarnya banyak cairan tubuh sehingga kepiting dapat mati ; sedangkan kecacatan dan tidak lengkapnya anggota badan akan berakibat terganggunya proses perkawinan, kehamilan dan penetasan telur, sehingga jumlah larva akan sedikit yang menetas.

C. Bak Pemeliharaan
Agar memperoleh hasil yang baik dalam prose pematangan gonad induk kepiting diperlukan bak konstruksi semen ukuran 3 x 4 x 1 m (12 m3). Bentuk bak dapat dibuat persegi ataupun oval, dilengkapi dengan saluran pemasukan dan pembuangan air berbentuk pipa goyang yang mudah dioperasikan untuk mengatur ketinggian air maupun untuk pengeringan.

Sebaiknya disediakan minimal 2 buah bak untuk pematangan gonad , bak2 itu terletak berdekatan agar memudahkan dalam pengoperasian , karena kepiting yang telah matang gonad perlu segera diseleksi dan dipindahkan kedalam bak terpisah.

Intensitas cahaya yang mengenai bak-bak itu harus diperlemah dengan cara memberikan tutup dari bahan yang masih dapat ditembus sinar matahari tetapi intensitasnya kurang. Juga atap berfungsi agar bak tidak kena curahan air hujan secara langsung.

Bak pemetangan induk itu harus diberi dasar lapisan lumpur campur pasir setebal 15 – 20 cm, dengan ketinggian air 30-80 cm. dasar bak juga diberi tempat berlindung (shelter) dari potongan-potongan pipa paralon berdiameter 3-4 inci karena kepiting dihabitat aslinya suka bersembunyi didalam lubang-lubang.

Bak perlu dilengkapi dengan aerasi , 1 batu aerasi setiap 2 m2. Aerasi dipasang setinggi 5 cm diatas lapisan lumpur dasar, agar lumpur tidak teraduk oleh proses airasi itu. Kadar oksigen dalam air diupayakan 6-7 ppm. Batu-batu airasi perlu dibersihkan secara periodic untuk menjaga kestabilan gelembung udara.

PEMELIHARAAN INDUK
1. Media pemeliharaan
Air media pemeliharaan dengan kadar garam 30-32 ppt yang sebelumnya disaring lebih dahulu dengan saringan pasir (sand filter) sebagaimana lazimnya pada hatchery untuk udang. pH air berkisar 7,5 -8,5 . DO 5-7 ppt.

Dasar bak pemeliharaan induk kepiting perlu diberikan lapisan lumpur yang sebelumnya sudah di bersihkan dan disterilkan dengan cara di rebus sampai mendidih , lalu didinginkan. Percobaan yang telah dilakukan membuktikan bahwa, induk kepiting yang dipelihara di bak yang tanpa substrat berupa dasar lumpur, hasil perkembangan telurnya kurang baik, sedikit dan daya tetas kurang. (Rusdi dkk.,1998).

2. Pakan
Pakan untuk calon induk dan induk kepiting ialah cacahan daging ikan, cumi-cumi yang masih segar. Pengalaman di BBAP Jepara menunjukkan bahwa cumi-cumi harus diutamakan, karena baik untuk merangsang perkembangan gonad bagi binatang krustasea : udang ,kepiting. (Mardjono dkk,1992). Banyaknya pakan 5-10% berat biomassa perhari. Pakan sejumlah itu diberikan dua kali per-hari , jam 8.00 pagi dan jam 17. 00 sore. Sebelum pakan diberikan, dasar bak dibersihkan dengan cara menyipon untuk menyedot pakan yang ang masih tersisa. Bila pakan yang tersisa banyak, maka pemberian pakan berikutnya harus dikurangi. Sebaliknya bila pakan tidak bersisa , pakan yang diberikan harus ditambah.

Pembersihan bak hanya dilakukan pada pagi hari saja, kecuali bila terjadi hal yang buruk, misalnya ada gejala pembusukan dengan terlihatnya banyak busa dipermukaan air, atau air berbau busuk.

Selain pakan alami berupa daging ikan dan cumi-cumi mentah segar, juga diberi pakan buatan berupa pelet kering yang biasa diberikan untuk induk udang windu. Pakan pellet khusus untuk induk udang itu mengandung nutrisi jang baik sebagai pelengkap ,dengan kandungan protein dan lemak esensial, vitamin dan mineral . Diberikannya cukup 2-3 kali per-minggu, dengan dosis 2 % berat biomassa

3. Ablasi mata
Ablasi mata dilakukan setelah calon induk dipelihara 3-5 hari didalam bak, setelah induk-induk itu terlihat sehat , gesit dan nafsu makannya baik. Calon induk betina yang hendak di ablasi dipilih yang berkulit keras dan sehat. Pelaksana ablasi kepiting harus dilakukan oleh tehnisi yang terampil memegang kepiting agar tidak meronta. Pemotongan mata berikut tangkainya dilakukan dengan gunting yang tajam dan dipanaskan lebih dahulu , sehingga luka bekas terpotong segera kering dan tidak mengeluarkan banyak cairan.

Selesai ablasi uni-lateral (sat mata), kepiting direndam di dalam ember berisi larutan PK 5 ppm selama 15 menit, untuk mencegah infeksi. Setelah itu kepiting dipindahkan kedalam bak pemeliharaan yang telah dipersiapkan sebelumnya, dimana kepiting betina pasca ablasi itu di pelihara bersama dengan kepiting jantan, dengan perbandingan jantan : betina 2:3. 3-5 hari pasca ablasi biasanya sudah ada betina yang siap untuk perkawinan.

4. Proses Perkawinan
Kepiting Bakau melakukan perkawinan di perairan estuaria (Arriola,1940 dalam Mardjono dkk. 1994). Perkawinan terjadi biasanya saat suhu air naik. Menjelang perkawinannya, kepiting betina mengeluarkan cairan kimiawi perangsang yaitu pheromone kedalam air yang akan menarik perhatian kepiting jantan. Selanjutnya kepiting jantan yang berhasil menemui kepiting betina sumber pheromone itu, lalu naik ke atas karapas kepiting betina yang sedang dalam kondisi pra lepas cangkang (premolt). Kepiting jantan tsb. membantu proses ganti kulit kepiting betina tsb. Selama kepiting betina mengalami proses ganti kulit, kepiting jantan akan melindungi nya selama kurang lebih 2-4 hari sampai cangkang terlepas dari tubuh kepiting betina . Kondisi seperti itu disebut “doubler formation” atau “ premating embrace”.

Setelah cangkang terlepas dari tubuh kepiting betina, tubuh betina dibalikkan oleh yang jantan sehingga sekarang pada posisi berhadapan untuk terjadinya kopulasi. Semetara itu cangkang betina masih dalam keadaan lunak. “Spermatofora” dari kepiting jantan akan disimpan didalam “spermateka” kepiting betina. Menurut Fielder dan Heasman,1978 dalam Mardjono dkk., 1991). Perkawinan kepiting ini dapat terjadi di waktu siang maupun malam hari.

Fielder dan Heasman (1978) mengungkapkan bahwa spermatofora yang tersimpan pada kepiting betina sekali kawin mencukupi untuk pembuahan dua kali peneluran sekor kepiting betina. Telur yang telah matang gonad dalam ovarium betina akan turun ke oviduct dan dibuahi oleh sperma, selanjutnya telur yang telah dibuahi itu dikeluarkan lalu menmpel pada umbai- umbai (rambut-rambut pada pleopoda) untuk dierami oleh induk betina itu. Sekali bertelur induk kepiting dapat mengeluarkan 1-8 juta butir telur , tergantung dari berat badan induk betina. , namun biasanya yang berhasil menempel pada umbai-umbai hanya 1/3 nya.

5. Perkembangan Telur Dalam Ovarium
Pada kepiting bakau, telur berkembang menuju pematangan untuk siap dibuahi, setelah terjadi kopulasi (perkawinan). Jantan dan betina melepaskan diri , dan cangkang induk betina menjadi keras kembali.

6. Pengamatan Kematangan Telur
Mulai sepuluh hari setelah di ablasi mata dan selanjutnya pengamatan dilakukan berselang 3 hari kemudian., dilakukan pengamatan tingkat perkembangan gonad. Berbeda dengan udang, kepiting bercangkang sangat tebal sehingga pengamatan gonad hanya dapat dilakukan melalui bagian belakang karapas tempat bersambungan dengan abdomen. B again ini tampak menggembung bila telur kepiting berkembang penuh. Dan berwarna kemerahan cerah. Fielder dan heasman (1978) dalam Mardjono (1994) membuat tingkat perkembangan telur kepiting bakau menjadi 4 tingkatan , sbb. :
Tingkat I: belum matang (immature), yaitu belum ada tanda-tanda perkembangan telur pada induk betina .
Tingkat II: Sedang dalam proses pematangan (maturing) perkembangan telur sudah mulai terlihat penuh, berwarna kuning, namun belum tampak menonjol penuh.
Tingkat III: Matang (ripe). Telur kepiting telah dibuah dan dikeluarkan serta menempel pada umbai-umbai dibawah abdomen. Saat baru ditempelkan ,telur berwarna kuning muda. Selanjutnya embrio makin berkembang didalam telur dan warna telur berubah menjadi kelabu, coklat kehitaman , bila hamper menetas. Lama pengeraman (inkubasi) telur 14-20 hari.
Tingkat IV: Salin (spent). Seluruh telur telah menetas. Ruang dibawah abdomen terlihat kosong.

Pada tingkat kematangan II akhir, telur dikeluarkan dari ovarium lalu dibuahi. Selanjutnya telur yang sudah dibuahi itu keluar tidak membuyar kedalam air melainkan melekat pada bulu-bulu di kaki renang (pleopoda) yang disebut umbai-umbai dibawah abdomen mengalami masa pengeraman. Pada panti pembenihan, saat induk mulai terlihat mengerai telur, segera dipindahkan kedalam bak pengeraman/ penetasan. Masa pengeraman telur 14 – 20 hari.

7. Pengeraman dan Penetasan
Induk yang sedang mengerami telur, mengipaskan kaki renangnya secara teratur , sehingga telur-telur itu memperoleh air segar yang banyak mengandung oksigen. Pada masa pengeraman tsb. induk berenang-renang dengan kaki renangnya yang terus=menerus bergerak dan sering berdiri pada kaki jalan. Sehingga telur-telur terus menerus memperoleh air segar dan banyak oksigen . Hal ini penting untuk perkembangan embrio. Masa telur yang semakin tua, warnanya berubah warna menjadi kelabu kemudian coklat kehitaman.

Masa pengeraman banyak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Pada lingkungan dengan kadar garam 30-33 ppt dan suhu berkisar antara 26-30 oC pengeraman dapat berlangsung baik dan perkembangan telur normal.

Induk yang di ablasi proses pematangan telur berlangsung sedikit lebih cepat dan didapatkan jumlah induk matang telur lebih banyak . (Mardjono dkk.,1994).
Bak untuk pengeraman dapat digunakan bak berukuran 2 x 2 x 0,5 m , terbuat dari semen atau fiber glass. Sebagai media pemeliharaan digunakan air laut dengan kadar garam minimal 28 ppt suhu 28°C.

Untuk mengurangi kecerahan cahaya matahari, bak perlu ditutup dengan anyaman bambu (gedeg) atau plastic yang tidak terlalu gelap. Kepadatan kepiting dalam bak pengeraman 1 ekor/m2 .

Selama proses pengeraman induk tidak diberi pakan. Penggantian air dilakukan setiap hari sebanyak 75%. Aerasi dipasang 1 batu aerasi/m2 dengan tekanan aerator diatur agar tidak terlalu kuat dan tidak terlalu lemah.

E. Penetasan Telur

Setelah telur-telur berwarna kehitaman, proses penetasan akan segera berlangsung. Penetasan biasanya berlangsung pada pagi hari. Larva yang baru menetas disebut pre-zoea yang sekitar 30 menit kemudian akan bermetamorfosa menjadi Zoea-1.

Pada masa penetasan ini pre-zoea disebarkan kedalam air secara terus menrus selama 3 – 5 jam. Seekor induk kepiting dengan berat 100 gram (lebar karapas 11 cm) dapat menghasilkan telur sebanyak 1 – 1,5 juta butir. Pada proses penetasan itu, kaki dayungnya dikipas-kipaskan dan kaki-kaki jalan induk di garuk-garukkan kepada umbai-umbai segingga telur lepas secara bertahap. Disinilah fungsi kai-kaki jalan sehingga kelengkapan anggota badan induk sangat berperan dalam kesempurnaan proses reproduksi sajak perkawinan sampai penetasan telurnya. Akhirnya hanya sebagian kecil dari telur yang akhirnya rontok gagal menetas.

Induk kepiting yang telah melepaskan larva yang baru menetas itu, segera dipindahkan kedalam bak pemeliharaan induk dan dirawat guna memulihkan kondisi induk . Masa pemulihan ini akan berlangsung selama 4 – 7 hari . setelah itu induk dikembalikan kedalam bak perkawinan bersama kepiting jantan.

F. Pemeliharaan Larva
1. Bak Pemeliharaan Larva
Bak untuk pemeliharaan larva kepiting dapat berbentuk bulat, oval ataupun segi empat.
Ataupun bentuk-bentuk lain. Pada dasarnya bak yang biasa untuk memlihara larva udang dapat juga untuk memelihara larva kepiting. Yang terpenting ialah bahwa bak tidak boleh mempunyai sudut tajam sehingga merupakan “sudut mati “dimana akan terkumpul kotoran disitu. Bahkan larva itu sendiri akan terjebak pada sudut itu.
Dasr bak harus di disain agar cukup miring supaaya dapat dengan tuntas dikeringkan. Pembuangan air berupa “pipa goyang “ atau “system sifon” agar pembuangan air mudah dan tuntas.

Volume bak sebaiknya tidak terlalu besar, cukup 5 – 10 m3 dengan kedalaman bak 1 m.Sehingga diisi air dengan kedalaman maksimum 80 cm. Ukuran ini akan memudahkan dalam pengelolaan , seperti penggantian air; sedangkan larva yang dipelihara sebaiknya dapat terdiri dari larva yang seumur (hari menetasnya bersamaan ) walaupun dari induk yang berbeda. Hal ini penting untuk mengurangi kemungkinan perbedaan laju pertumbuhan sehingga akan cenderung kanibal.

2. Media Pemeliharaan
Media pemeliharaan larva digunakan air yang diambil langsung dari laut yang jernih, yang disaring dengan saringan pasir, disusul dengan penyinaran sinar ultra violet atau perlakuan dengan klorine 50 ppm untuk sterilisasi dari bacteria dan lain lain organisme renik yang mungkindapat menimbulkan pengakit pada larva kepiting.

Salinitas 30-33 ppt, pH 7,5 – 8,5. Kadar oksigen terlarut harus diupayakan stabil antara 6-7 ppm, dengan memasang aerasi. Jumlah batu aerasi 1 per-m2 dengan jarah antar batu aerasi 0,5 m, yang digantung dengan bantuan tali membentuk segi empat dimana setiap sudutnya digantungkan batu aerasi, sebagaimana lazimnya pada bak pemeliharaan larva udang. Kekuatan aerasi diatur agar tidak terlalu kuat dan tidak terlalu lemah. Fungsi dari aerasi itu selain untuk menambah kelarutan oksigen dalam air, juga untuk menggerakkan pakan larva agar selalu dalam kondisi melayang diair agar tidak mudah tenggelam didasar.

3. Penebaran
Larva yang baru menetas , diperoleh dari bak penetasan dinama induk yang mengeram di pelihara secara terpisah. Setelah pre-zoea berubah menjadi zoea -1 , saatnya untuk dipindahkan ke bak pemeliharaan larva.

Pemindahan larva dilakukan pada pagi atau sore hari. Lrva dikumpulkan dengan menggunakan gayung atau “cimplung” agar larva terambil bersama massa airnya. Selanjutnya ditampung di dalam ember sambil diaerasi lambat. Bila sudah terkumpul dalam jumlah cukup banyak, larva di pindah dalam waskom , lalu diapungkan dipermukaan air bak larva untuk 30 menit lamanya , sambil sedikit demi sedikit air dari bak yang akan ditebari itu dimasukkan sedikit demi sedikit kedalam waskom agar teraklimatisasi. Akhirnya waskom dimiringkan sehingga larva dapat keluar sendiri menyebar kedalam air bak pemeliharaan larva itu.

Kepadatan larva didalam bak pemeliharaan 75-100 ekor /liter. Jadi satu bak larva yang volume airnya 4000 liter (4 m3) dapat ditebari 400 000 ekor Zoea-1 Larva sejumlah itu berasal dari seekor induk kepiting saja. Bahkan dari seekor induk , larvanya dapat ditebar kedalam bak yang volume airnya 8 m3.

Larva kepiting sangat bersifat kanibal. Karena itu kepadatan sangat mempengaruhi tingkat sintasannya, apalagi kalau pakan nya tidak mencukupi. Pakan yang kurang menyebabkan perkembangan larva tidak sehat, sehingga banyak mati , selain kanibalisme. Sewbvaliknya bila pakan berlebihan, akan menyebabkan mutu air memburuk, menyebabkan banyak kematian juga pada larva.

4. Pengelolaan Pakan
Di alam larva kepiting memakan berbagai organisme renik plankton seperti Diatomae, larva-larva dari Echinodermata, moluska dan cacing, dsb. Didalam bak pemeliharaan , pakan yang diberikan juga harus disesuaikan dengan sifat alami dari larva itu.

4.1. Pakan Alami
Dalam pemeliharaan larva kepiting diberi pakan berupa pakan alami dari berbagai organisme plankton hewani (zooplankton) dan fitoplankton yang ukurannya sesuai dengan stadia Zoea.

Pakan untuk Zoea – 1 sampai Zoea-3. berupa zooplankton Brachionus sp dan fitoplankton jenis Chaetoceros sp. yang dihasilkan dari kultur di laboratorium.

Pakan untuk Zoea- 4 dan Zoea -5 dan Megalopa berupa nauplii Artemia yang ditetaskan dari kista Artemia dan fitoplankton Chaetoceros sp. dan ditembah Tetraselmis sp.. Kegunaan dari fitoplankton itu walaupun mungkin secara langsung tidak dimakan oleh larva kepiting, tetapi berguna sebagai penyeimbang lingkungan dalam air karena fitoplankton itu dalam proses fotosintesisnya dapat menyerap zat-zat hara yang beracun bagi larva kepiting yang dipelihara.

Dosis Brachionus , Chaetoceros yang diberikan kira-kira 10 liter ( satu ember) kultur yang sudah disaring sehingga padat untuk bak volume 1 M3. Demikian juga Tetraselmis sp. juga sebanyak 10 liter kultur yang sudah disaring.

Sedangkan untuk Zoea-4, Zoea-5 dan Megalopa dosis nauplii Artemia diperkirakan 2 gram kista ditetaskan untuk diberikan kepada setiap 100 000 larva kepiting. Jadi jika kita memelihara seluruhnya 5 juta larva kepiting , maka setiap hari perlu di tetaskan kista artemia sebanyak 10 gram.

Tetasan nauplii artemia tsb. diberikan pada pagi hari, setelah dilakukan pembersihan bak dengan sipon dan air bak dig anti 1/3 volume dengan air yang segar.

4.2. Pakan Buatan
Dalam pemeliharaan larva kepiting selain pakan alami juga diberi pakan buatan. Pakan buatan mengacu kepada jenis pakan yang diberikan kepada larva udang windu. Tujuan pemberian pakan buatan ini untuk melengkapi zat nutrisi yang kemungkinan tidak terdapat pada pakan alami.

Larva kepiting mulai stadium Zoea -1 sudah dapat memakan pakan buatan . banyaknya ransum dan ukuran jenis pakan buatan yang diberikan dirubah sesuai dengan tingkat perkembangan larva.

Larva stadium Z-1 dan Z-2 diberi pakan sebanyak 0,5 ppm. Artinya kedalam bak pemeliharaan larva yang volume airnya 1 M3 (1000 liter) diberi pakan berupa butir-butir mikropelet sebanyak 0,5 gram . Jika volume air 5 M3 maka banyaknya pakan 5 x 0,5 gram. = 2,5 gram.per-M3 volume air bak.
Untuk stadium Zoea-3, dosis pakan 0,6 ppm ; atau sebanyak 0,6 gram per-M3 air bak.
Untuk stadium Zoea-4 , dosis pakan 0,65 ppm ; atau sebanyak 0,65 gram per-M3 air bak.
Untuk stadium Zoea-5, dosis pakan 0,75 ppm ; atau sebanyak 0,75 gram per-M3 air bak.
Mulai stadium Megalopa sampai instar ( stadium Crab) ransum pakan ditingkatkan menjadi 1 ppm sekali pemberian.

Pemberian pakan buatan (mikropelet) tsb. sehari diberi kan 6 kali , yaitu berselang waktu 4 jam. Dengan cara itu diharapkan larva dapat terus menerus mendapat makanan, pakan tidak boleh berlebihan dan karena selalu ada pakan didalam air pemeliharaan, larva menjadi berkurang sifat kanibalisme-nya.

Ukuran partikel pakan juga harus disesuaikan dengan ukuran stadium larva. Untuk stadium Zoea-1 sampai Zoea-5 ukuran pelet 50 mikron, diberbesar bertahap sampai 100 mikron . Selanjutnya untuk stadium Megalopa dan Crab ukuran pelet lebih besar yaitu 200 mikron sampai 500 mikron.

Ukuran-ukuran besarnya mikropelet itu dapat di baca pada kaleng wadah pakan larva yang dijual. Stadium Megalopa lebih suka tinggal didasar bak (benthic)dan makan Artemia yang sudah ditetaskan berumur 4-5 hari (instar 4-5). Dosis pakan tetasan kista sebanyak 3 gram untuk 100 000 ekor Megalopa per-hari. Ukuran panjang total tubuhnya 4,1 mm. Sifatnya cenderung kanibal. Sehingga terjadi banyak penyusutan jumlahnya. Untuk mengurangi kanibalisme, di dalam air bak perlu diberi tempat persembunyian berupa rumbai-rumbai yang dapat dibuat dari tali rafiyah yang diikat segerombol diberi pemberat agar dapat ditegakkan didalam air. Jumlah rumbai-rumbai ini hendaknya cukup banyak. Lama masa Megalopa ini 7 hari, bermetamorfosa menjadi stadium Crablet (benih kepiting).

Pada stadium Crab-1 sampai Crab-5 yaitu benih kepiting , bentuk dan organ tubuhnya sudah seperti pada kepiting dewasa.Panjang karapas 2 mm sampai 3 mm; berat badannya 5 – 9 mg. Pada stadia Crab anakan kepiting makan dari dasar bak Pakan yang diberikan berupa daging ikan , cumi-cumi yang masih segar dan dibersihkan, lalu dicacah . Dosis pakan perhari diperkirakan sebanyak 50-100 gram untuk 100 000 ekor benih Crab-1 sampai Crab-5. Pemberiannya pakan secara di onggokkan pada 4-5 titik. Sementara diberi pakan itu , aerator dihentikan. Kemudian harus diamati apakah pakan yang diberikan itu segera habis dalam waktu 10 menit. Bila cepat habis, maka selang 3 - 4 jam , perlu diberi lagi cacahan pakan yang sama. Demikian dalam sehari pemberian pakan untuk stadium Crab sebanyak 6 kali. Bila Crab terlihat sangat rakus atau nafsu makan bagus, maka dosis pakan harus dinaikkan. Sebaliknya kalau nafsu makan kurang, atau lambat memakannya, maka pada pemberian berikutnya dosis pakan dikurangi.

Pengamatan dan pengaturan dosis pakan itu penting , untuk mencegah terjadinya kanibalisme, bila benih crab itu kelaparan dan pakannya kurang. Sebaliknya jika pakan terlalu banyak bersisa, menyebabkan kualitas air menurun karena pembusukan sisa pakan itu. Hal ini akan menyebabkan banyak kematian pada benih kepiting.

Penelitian telah dilakukan pada pertumbuhan benih stadia Crab dimana pada umur 50 hari (terhitung sejak Zoea-1) berat badannya mendekati 500 mg panjang karapas mendekati 10 mm ( 1 cm). Ini ukuran yang diperkirakan sudah cukup kuat untuk di jual sebagai benih untuk di deder pada tempat yang lebih luas di luar ruangan. Misalnya didalam hapa yang dipasang ditambak yang subur dengan pakan alaminya. Namun tentu saja harus selalu dilindungi terhadap hama pemangsa karena itu masih di pelihara didalam hapa.

G. Pengelolaan Kualitas Air
Kualitas air tempat larva kepiting dipelihara , merupakan faktor penting yang harus dijaga agar tetap dalam kondisi optimum dan stabil. Dalam Panti Pembenihan, biasanya dilakukan pergantian air bak larva sebanyak 20-40% dari volume bak setiap 2 hari.

Penggantian air dilakukan dengan lebih dahulu menyedot air dari dasar bak menggunakan sipon yaitu slang berdiameter 2 -3 inci yang diberi tutup ujungnya dengan kain kelambu yang lubangnya tidak terlalu kecil, memungkinkan kotoran yang mengendap didasar bak tersedot. Sebagian air dari dasar bak akan terbuang sebanyak 20-40% volume. Kemudian bak diisi lagi dengan air yang masih segar dan salinitas 30-33ppt , suhu 28-30 oC sama dengan air yang lama. Sedangkan kadar Oksigen tentu dapat dipertahankan 6-7 ppm bila aerator terus menerus terpasang. Dan dijaga kebersihannya. Kotoran-kotoran dan sisa-sisa pakan didalam air akan membusuk dan menyerap banyak O2. Karena itu kebersihan air dan dasar serta dinding bak harus dijaga, dengan cara di sipon dengan cermat.

Penggantian air itu dimulai pada zoea-2 sebanyak 20% setiap 2 hari sekali , sampai Zoea-3 , selanjutnya sampai Zoea 5 ganti air sebanyak 40%. Pada stadium Megalopa, sebaiknya dipanen, untuk memindahkan Megalopa kedalam bak lain yang sudah dipersiapkan dalam kondisi bersih dan diberi rumbai-rumbai untuk persembunyian terhadap sesamanya. Megalopa bersifat benthic yaitu senang berada didasar bak. Ukuran besarnya panjang karapas 2,1 mm, panjang abdomen 1,87 mm, panjang tubuh total dari ujung duri rostral sampai ujung belakang abdomen 4,1mm.

Padat penebaran Megalopa 10-20 ekor/M3.diperkirakan dapat mengurangi sifat kanibalisme.

H. Pengendalian Penyakit
Penyakit pada larva kepiting dapat terjadi pada semua stadium . Disebabkan adanya bacteria, jamur dan Protozoa yang terdapat dan berkembang didalam air bak pemeliharaan. Ini disebabkan oleh kotoran dan sisa-sisa pakan.

Penelitian mengenai larva kepiting belumlah banyak dilakukan. Namun demikian haruslah diwaspadai masalah penyakit ini. Penyakit dapat timbul dari interaksi antara 3 faktor yaitu faktor lingkungan,fartor keberadaan organisme penyakit dan faktor kondisi inang atau organisme itu sendiri (yaitu larva yang dipelihara) yang dalam kondisi lemah.

Lingkungan, yang kondisinya tidak stabil (kotor, kualitas air tidak stabil) menyebabkan kondisi larva stress, lemah, nafsu makan menurun, akibatnya mudah diserang penyakit. Penyakit itu disebabkan keberadaan organisme penyakit itu yang ada didalam lingkungan /bak. Keberadaan organisme penyebab penyakit itu memang ada dimana-mana, tetapi akan dapat merebak bila kondisi airnya kotor. Bila kondisi bersih, tidak banyak sisa-sisa kotoran dsb. dan kualitas air selalu terjaga stabilitasnya/ cocok untuk kehidupan larva yang dipelihara, makanan cukup dan bergizi yang sesuai dengan kebutuhan larva, maka larva juga kondisi nya akan selalu sehat, kuat, dan tahan penyakit.

Itulah caranya kita mengendalikan kondisi larva yang kita pelihara , agar kita upayakan selalu dalam kondisi sehat dan ini dapat dicapai jika kita bekerja dengan cermat, cermat, dan cermat.

1. Penggunaan Obat
Banyak jenis anti biotika yaitu obat yang membasmi bacteria, jamur, protozoa, tetapi virus tidak dapat dibunuh oleh antibiotika karena virus tidak dapat melakukan metabolisme sendiri, melainkan sepenuhnya numpang hidup pada organisme lain.

Jenis penyakit pada larva kepiting , tentu juga serupa dengan yang menyerang larva udang yang sekarang sudah banyak diketahui. Namun demikian kenyataan menunjukkan bahwa larva yang terlanjut sakit, sulit untuk disembuhkan dengan obat apapun. Karena itu cara pencegahan harus diutamakan, yaitu memelihara lingkungan agar stabil dan optimal bagi kehidupan larva, pakan yang baik mutunya, menjaga kebersihan, dan menghindari/melindungi bak-bak pemeliharaan dari kontaminasi/penularan bibit penyakit.

2. Penggunaan Antibiotik
Obat anti biotika sekarang dilarang oleh Pemerintah penggunaannya untuk perikanan, karena menyebabkan organisme penyakit menjadi resisten (tidak mati oleh obat tsb.) dan adanya obat yang menyebabkan kanker pada manusia bila pemakaian jangka panjang dan obat tertentu itu mengendap dalam bahan makanan.

Untuk pencegahan penyakit pada Panti Pembenihan, diperkenankan untuk pembersihan saja yaitu menggunakan obat disinfektan yang berupa bahan kimia , seperti larutan PK 2-3 ppm, deterjen , sabun untuk mencuci bak dll. , formalin 100- 200 ppm untuk mematikan bakteri dan juga virus.

Demikian semoga penjelasan-penjelasan dalam buku ini dapat diterapkan dan membawa keberhasilan dalam budidaya Perikanan pada umumnya.

SUMBER:
Suyanto S.R., 2011. Budidaya Kepiting Bakau. Materi Penyuluhan Kelautan dan Perikanan Nomor: 008/TAK/BPSDMKP/2011. Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan BPSDMKP.

PUSTAKA:
Aldrianto,E., 1994. Aktifitas Reproduksi Kepiting Bakau. Techner no.12 Th.2. 1994. Hal.      46-48.

Cholik,F dan A.Hanafi. 1991. A.Review of the status of the Mud Crab (Scylla sp.). Fishery and Culture in Indonesia. The Mud Crab . A rep on Sem convened in Surat Thani,Thailand, Nov 5-8,1991.s for Mud crab culture – a Preliminary biochemical, Fisical and Biological Evaluation . The Mud Crab. A Rep .on th Sem convened at Surat Thani, Thayland. Nov.5-8. BOBP.1991.

Gillespie,N.C. and J.H.Burke. 1991. Mud crab storage and Transport in Australian Commerce. The Mud crab. A Rep.on the Sem. Convened at Surat Thani, Thayland. Nov.5-8. BOBP. 1991.

How-Cheong, C., U.P.D.Gunasekera and H.P.Amandakoon. 1991. Formulation of artificial feeds for Mud crab culture – a Preliminary biochemical, Fisical and Biological Evaluation . The Mud Crab. A Rep .on th Sem convened at Surat Thani, Thayland. BOBP. 1991.

Ladra, D.F. and J.C.Lin. 1991. Trade and Marketing Practices of the Mud Crab in the Philippines. A Rep. on th Sem.convened at Surat Thani, Thayland. Nov.5-8. BOBP. 1991.

Ladra,D.F. Mudcrab fattening Practices in the Philippines. The Mud Crab, A Rep on the Sem convened in Surat Thani,Thayland, Nov.5-8, 1991. BOBP.

Mardjono,M., Anindiastuti, Noor hamid , Iin S.Djunaidah dan W.H.Satyantini. 1994
Pedoman Pembenihan Kepiting Bakau Scylla serrata . BBAP Jepara. 1994.

Mardjono, M.,N.Hamid dan M.L.Nurdjana . 1992. Budidaya Kepiting Bakau : Lahan Usaha Baru yang Menguntungkan. Makalah Seminar sehari. Jakarta 8 Juli 1992.

Makatutu,D., I.Rusdi dan A.Parenrengi. 1998. Studi pendahuluan Pengaruh perbedaan waktu awal pemberian pakan alami rotifer, Brachionus rotendiformis terhadap sintasan Zoea kepiting bakau S.serrata Forskal. Pros.Sem Perik.Pantai, Bali. 1998. hal: 178-181.

Prinpanapung,S. 1991. Rearing of Mud Crab (Scylla serrata). The Mud Crab. A Rep.on the Sem.convened at Surat Thany, Thayland. Nov.5-8. BOBP.1991.

Rattanachote,A. and R. Dangwatanakul. Mud Crab (Scylla serrata Forskal) fattening in Surat Thani Province. A Rep on the Sem.convened in Surat Thani, Thayland. Nov.5-8. BOBP . 1991.

Rusdi,I.,D.Makatutu dan K.M.Setiawati. 1998. Percobaan Pematangan Gonad dan Pemijahan Kepiting Bakau Scylla serrata pada berbagai jenis dan ketebalan substrat. Pros. Sem.Teh.Perik.Pantai, Bali , 6-7 Agust 1998.

Samarasinghe,R.P., D.Y.Fernando and O.S.S.C.de Silva. 1991. Pond Culture of Mud Crab in Sri Lanka. A Rep.on the Sem.convened in Surat Thani , Thayland. . Nov 5-8 . BOBP . 1991.

Srinavasagam,S. and M.Kathirvel. 1991. A Review of Experimental Culture of the Mud crab, Scylla serrata Forskal in India. The Mud Crab. A rep. of the Sem convened at Surat Thani, Thayland. N0v. 5-8. BOBP. 1991.

Susanto,B. , M.Marzuqi, I.Setyadi,D.Syahidah,G.N.Permana dan Haryanti . 2004. Penagmatan aspek biologi Rajungan (portunus pelagicus), dalam menunjang tehnik pembenihannya. Warta Penel. Perik Indonesia.Vol.10,No.1,2004.

Yunus. 1998. Uji Pendahuluan Produksi benih kepiting bakau (S.serrata). Pros. Sem.Teh.Perik.Pantai, Bali. 1998. hal: 124-132.

0 komentar:

Posting Komentar