UPAYA
PELESTARIAN PENYU
Penyu adalah satwa yang terancam punah yang sudah dilindungi
oleh hukum Indonesia dan internasional yang seharusnya mendapatkan perlakuan
khusus untuk membuatnya lestari. Namun ironisnya manusia seakan kecanduan untuk
mengeksploitasi penyu dan berusaha mencari celah hukum untuk memanfaatkan
penyu demi kepentingan pribadi. Di berbagai tempat jumlah penyu terus menerus
berkurang seiring dengan maraknya eksploitasi penyu berkedok “konservasi” yang
tidak ramah penyu.
Sebelum tahun 2000-an penyu dengan terang-terangan
dieksploitasi dengan cara diperdagangkan dalam bentuk daging, telur dan
karapasnya untuk bahan cinderamata. Setelah aparat penegak hukuim gencar
,melakukan oenertiban dan penyitaan penyu yang diperdagangkan secara ilegal,
kini “perdagangan” penyu terjadi dengan modus baru yang lebih halus. Karena
saking menariknya kemasan eksploitasi penyu tersebut, maka pemerintah,
masyarakat awam, dan juga wisatawan sering terkecoh mengira bahwa eksploitasi
tersebut adalah bentuk upaya pelestarian penyu.
Bentuk eksploitasi penyu gaya baru ini berupa “peternakan
penyu” (sea turtle farming) dan “pembesaran tukik” (sea turtle
head-starting) yang seringkali disalahpahami sebagai kegiatan “penangkaran
Penyu” oleh masyarakat.
Peternakan Penyu
Peternakan penyu sebenarnya adalah sebuah usaha membesarkan
tukik untuk tujuan komersial yaitu untuk dipertontonkan, diambil dagingnya,
atau dijual sebagai binatang peliharaan. Di sebuah peternakan penyu di
Indonesia, mereka melakukan “pencucian” penyu dengan cara mendatangkan penyu
dewasa hasil tangkapan di alam untuk dijadikan atraksi bagi turis. Para
pengunjung diperbolehkan menyentuh penyu dewasa tersebut, bahkan diperbolehkan
duduk di atas penyu tersebut untuk diambil foto.
Dalam keadaan stres penyu cenderung tidak akan memberontak
dan diam saja ketika diganggu oleh para pengunjung. Apabila telah dirasa cukup
lama seekor penyu dipertontonkan, maka penyu tersebut seringkali juga, dipotong
untuk diambil dagingnya. Penyu-penyu dewasa hasil tangkapan yang lain
didatangkan untuk menggantikan penyu yang dipotong. Dengan kurangnya pengawasan
dari pemerintah, maka pemerintah tidak tahu bahwa tempat wisata ini telah
“mencuci” kegiatan pembunuhan penyu atas wisata.
Pembesaran Tukik
Pembesaran tukik adalah usaha untuk membesarkan tukik
(bayi penyu) hingga usia dan ukuran tertentu sebelum di lepas ke laut, dengan
harapan agar tingkat keselamatan tukik menjadi lebih tinggi. Kegiatan ini
sepintas terdengar baik dan mulia, namun kurang memperhatikan siklus kehidupan
penyu secara menyeluruh. Meskipun tidak seburuk kegiatan peternakan penyu,
pembesaran tukik tidak dapat diterima dalam sebuah usaha konservasi penyu
karena tidak ada percobaan pembesaran tukik yang berhasil. Kegiatan ini dinilai
terlalu ceroboh dengan penjelasan sebagai berikut:
“Penyu adalah satwa unik yang memiliki siklus kehidupan yang
jauh lebih rumit daripada yang diketahui kebanyakan orang. Semenjak pertama
kali mereka ditetaskan, tukik sudah harus mengalami serangkaian proses yang
harus mereka alami sendiri untuk melatih insting mereka agar mereka dapat
menjalani proses kehidupan secara utuh dan menghasilkan keturunan.”
Tukik yang menetas harus segera secepatnya merangkak dan
berenang ke laut untuk menghindari predator seperti anjing, kucing, biawak,
elang, kepiting, anak hiu, gurita dan lain-lain. Para ahli mengatakan dari 1000
tukik yang menetas hanya ada satu yang mampu bertahan menjadi penyu dewasa.
Dalam proses menuju laut tukik mengerahkan semua inderanya untuk merekam
perjalanan sehingga ketika tiba saatnya bagi tukik yang telah dewasa untuk
kembali ke pantai dimana dia menetas, maka dia mampu menemukan jalan pulang.
Tukik harus menjauhi pantai secepatnya untuk menghindari
predator, terlambat sedikit saja maka peluang tukik untuk bertahan hidup akan
semakin mengecil. Setelah tukik berhasil selamat dari ancaman para predator,
maka tukik akan datang di perairan dalam dimana dia akan sampai di arus yang
lebih kuat yang tidak dapat dilawan oleh tukik. Tukik akan menghanyutkan diri
ke dalam arus itu dan akan beristirahat selama beberapa hari di dalam arus itu.
Setiap tukik telah dibekali zat kuning telur (yolk) sebagai bekal
perjalanannya yang menurut ahli, kuning telur itu akan bertahan selama tiga
hari. Ketika zat kuning telur mulai habis, tukik akan mulai belajar memakan
makanan alami yang mereka temukan di samudra.
Periode dimana tukik menghanyutkan diri ini disebut dengan
masa-masa yang hilang (the lost years). Tukik akan tetap hanyut dan
bertumbuh hingga sampai tiba waktunya dia akan kembali ke perairan di dekat
pantai dimana dia dulu menetas. Tukik yang telah bertumbuh menjadi penyu dewasa
(usia 35-40 tahun) akan kawin kemudian bertelur di pantai yang sama sebanyak 3
hingga 7 kali dalam satu periode peneluran. Tukik-tukik kecil yang baru akan
menetas dua bulan setelahnya dan harus melalui pengalaman yang sama seperti
yang seperti dialami oleh induknya terdahulu. Dengan demikian siklus kehidupan
berulang kembali, demikian seterusnya.
Praktek pembesaran tukik dilakukan dengan prasangka bahwa
usaha manusia untuk membesarkan tukik hingga ukuran tertentu dapat sukses
mengurangi tingkat kematian tukik akibat dimangsa predator. Tetapi upaya ini
hanya murni didasari prasangka tanpa adanya dasar penelitian secara ilmiah
manapun. Penelitian tentang pembesaran tukik terbesar dan terlama di dunia
pernah sekali dilakukan di Florida-Amerika Serikat oleh DNR (Department of Nature
Recourse). Penelitian ini dianggap sebagai terlama dan terbesar karena memakan
waktu penelitian selama 30 tahun dengan melibatkan 18.000 ekor tukik. Program
ini dimulai pada tahun 1958 dan dihentikan pada tahun 1988 karena tidak
memperoleh hasil apapun dan tidak dapat memberikan bukti nyata bahwa tukik yang
dibesarkan dapat menjadi penyu dewasa yang menghasilkan keturunan.
Selain dianggap gagal, program ini juga telah memakan biaya
yang luar biasa besar. Karena untuk membesarkan penyu dengan baik, seseorang
harus secara serius menyediakan fasilitas, akomodasi dan makanan yang harus
menyerupai di habitat alami penyu alami. Artinya diperlukan kolam yang luas
atau bahkan teluk yang dimodifikasi, dan diperlukan pakan penyu hidup dalam
jumlah besar dan berkesinambungan. Ini membutuhkan energi dan uang dalam jumlah
yang besar.
Sementara praktik pembesaran penyu di Indonesia sama sekali
tidak bisa dianggap sebagai program “head-start” karena prosesnya dilakukan
secara tidak benar, tidak berdasarkan kepada penelitian ilmiah manapun dan
lebih berpihak pada kepentingan komersil.
Permasalahan Pembesaran Tukik di
Indonesia
Praktik pembesaran tukik di Indonesia hanya mendatangkan
masalah karena dilakukan dengan biaya minimal untuk mendatangkan keuntungan yang
besar. Permasalahan itu antara lain;
·
Penangkaran menyediakan kolam yang
dangkal, padahal tukik membutuhkan latihan menyelam agar paru-paru mereka dapat
berkembang.
·
Di beberapa tempat donatur membantu
penangkar dengan menyediakan kolam yang dalam, tetapi dengan alasan untuk
mengirit biaya listrik dari pompa air, penangkar hanya mengisi seperempat atau
bahkan sepersepuluh dari ketinggian kolam.
·
Penangkar tidak memberikan
pengobatan ketika tukik sakit, sehingga banyak tukik yang mati. Penyakit
tersebut antara lain, jamur, bakteri dan protozoa yang timbul dari kolam yang
kotor.
·
Dengan alasan menyenangkan tamu,
seringkali penangkar membiarkan tamu untuk menyentuh dan memainkan tukik yang
menyebabkan tukik stress.
·
Supaya tidak ribet dan memakan
biaya, tukik diberi makan ikan mati cincang. Selain membunuh insting tukik
untuk berburu makanan alami mereka, daging ikan cincang yang tidak termakan
mengundang penyakit di dalam kolam itu.
·
Di habitat alami tukik adalah
binatang soliter, yaitu tukik tidak bekerja sama untuk berburu makanan,
melindungi diri dan bertahan hidup. Sementara di penangkaran tukik ditaruh di
dalam kolam secara bergerombol dengan tingkat kepadatan kolam yang sangat
tinggi. Hal ini menyebabkan tukik menjadi stress atau saling mangsa (kanibal).
Dengan permasalahan pembesaran tukik yang
disebutkan di atas tersebut, muncul dampak negatif bagi penyu dari praktek
pembesaran tukik (head starting), antara lain:
·
Tukik tidak dapat mengenali makanan
alaminya dan tidak dapat berburu makanan hidup karena insting berburu mereka
sudah tumpul akibat diberi makan manusia selama berbulan-bulan. Banyak sekali
kasus tukik hasil pembesaran yang segera kembali ke pantai dalam keadaan kurus
setelah satu minggu dilepaskan. Tukik-tukik ini gagal beradaptasi dengan habitat
alami yang seharusnya.
·
Karena sudah tergantung dengan
manusia, tidak jarang tukik hanya berputar-putar di pulau dekat penangkaran dan
mendatangi manusia dan perahu nelayan untuk meminta makan. Nelayan yang jahat
akan memakai tukik sebagai umpan yang bagus untuk mendapatkan tangkapan yang
besar.
·
Tukik tidak dapat menjalani siklus
kehidupan alaminya sehingga mereka akan gagal menjalankan fungsinya di alam dan
gagal meneruskan keturunan.
Dengan segala macam permasalahan
yang timbul akibat kegiatan peternakan penyu dan kegiatan pembesaran tukik,
maka pelestarian penyu yang serius dan bersungguh-sungguh itu seharusnya
dilakukan dengan sealami mungkin tanpa praktek pembesaran tukik atau peternakan
penyu. Kegiatan pembesaran tukik di Indonesia menjadi rancu dengan kegiatan
peternakan penyu (sea turtle farm) yang notabene dilakukan untuk
mendapatkan keuntungan ekonomi saja tanpa memperdulikan kelestarian penyu.
Apa yang Bisa Anda Lakukan?
Pembesaran tukik dan peternakan penyu yang berorientasi
komersil, jelas bukanlah tindakan konservasi penyu yang bijak, itu adalah
bentuk eksploitasi atas nama konservasi penyu. Jika anda penduli akan
pelestarian penyu, anda bisa membantunya dengan cara yang sederhana dan murah,
antara lain:
·
Jangan pernah berkunjung ke tempat
wisata yang melakukan kegiatan pembesaran tukik atau peternakan penyu
·
Jangan pernah memberikan donasi ke
kegiatan pembesaran tukik yang nyata-nyata itu melanggar kaidah kesejahteraan
satwa
·
Laporkan ke ProFauna jika anda
melihat kegiatan eksploitasi penyu atas nama konservasi di daerah anda. Kirim
email ke: profauna@profauna.net
sumber: http://www.profauna.net/id/kampanye-penyu/membesaran-tukik-eksploitasi-penyu-atas-nama-konservasi
0 komentar:
Posting Komentar