Potensi Budidaya Ikan dari
Jenis Perikanan Darat
Selama ini, aktivitas perikanan tangkap mendominasi
pembangunan perikanan nasional. Secara politik, kondisi ini memposisikan
perikanan darat/perairan umum (sungai, situ, danau dan rawa) sebagai kelas dua,
maka aktivitas perikanan darat mandek.
Revitalisasi perikanan hanya mengutamakan pertambakan udang, dan budidaya laut yaitu rumput laut dan ikan karang, padahal perikanan darat memiliki keunggulan dan keunikan tersendiri. Harusnya, pemerintah memberikan porsi yang seimbang antara perikanan tangkap dan perikanan darat/perairan umum.
Revitalisasi perikanan hanya mengutamakan pertambakan udang, dan budidaya laut yaitu rumput laut dan ikan karang, padahal perikanan darat memiliki keunggulan dan keunikan tersendiri. Harusnya, pemerintah memberikan porsi yang seimbang antara perikanan tangkap dan perikanan darat/perairan umum.
Perikanan Darat
Memiliki Keunggulan Dan Keunikan Dalam Pengembangannya.
Pertama, potensinya memiliki varitas/jenis yang bersifat
endemik. Contohnya, ikan bilih (Mystacoleuseus padangensis) yang di dunia hanya
terdapat di danau Singkarak, Sumatera Barat, juga ikan jenis lawat (Leptobarbus
hoevanii), baung (Mystus planices), belida (Chitala lopis), dan tangadak
(Barbodes schwanenfeldi) di Danau Sentarum Kalimantan Barat dan sungai-sungai
pulau Sumatera, nike-nike di Danau Tondano, Sulawesi Utara dan ikan gabus asli
(Oxyeleotris heterodon) Danau Sentani di Papua.
Kedua, keberadaan ikan endemik menyatu dengan perilaku atau pola
hidup masyarakat lokal. Mereka menganggap ikan endemik menjadi bagian
kebudayaan dan dikonsumsi secara turun-temurun di lingkungan masyarakat
setempat. Maka mereka juga memiliki kearifan lokal dalam menjaga
kelestariannya.
Ketiga, secara ekologis dan klimatologi ikan endemik
memiliki habitat hidup dan berkembang biak yang khas. Amat tidak mungkin ikan
bilih di Danau Singkarak dikembangbiakan di Danau Poso. Inilah sumber kekhasan
sumber daya genetiknya. Tiap jenis memiliki habitat hidup yang berbeda-beda
antara satu dengan yang lainnya.
Keempat, lahan budi daya perikanan darat yang mengandung
jenis ikan endemik belum dimanfaatkan secara optimal. Baru beberapa daerah yang
memberdayakan pengembangannya dan memberdayakannya dengan pariwisata misalnya
Danau Tondano, Danau Singkarak, Danau Poso dan Danau Sentani.
Kelima, jenis ikan endemik harganya mahal karena rasanya
unik, khas dan langka sehingga menjadi trade mark tersendiri bagi daerah itu.
Contohnya, ikan semah (Tor tambra, Tor dourounensis dan Tor tambroides,
Labeobarbus douronensis) dari Sungai Kapuas harganya sampai Rp 250.000/kg.
Enam Problem
Adanya otonomi daerah lebih dari 10 tahun yang lalu telah
mempengaruhi sektor kelautan dan perikanan. Dalam aspek perikanan dan kelautan
tidak hanya dimaknai sebatas kewenangan pengelolaan wilayah laut oleh
pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota. Otonomi daerah juga harus dimaknai
sebagai upaya mengelola dan mengembangkan perikanan darat utamanya ikan endemik
yang terancam punah. Pemaknaan ini akan menciptakan kedaulatan pangan di
tingkat lokalitas dimana ikan tersebut berada.
Berbagai problem mengancam keberlanjutan budidaya ikan
endemik dan kelestariannya, yaitu,
Pertama, ekspoitasi berlebihan. Contohnya, menurut data
tahun 1997 menyebutkan bahwa stok ikan Bilih mencapai 542,56 ton dan yang telah
dieksploitasi sebesar 416,90 ton (77,84 persen). Ini menggambarkan sumberdaya
ikan bilih sudah mengalami tangkap lebih atau overfishing.
Kedua, introduksi ikan lain yang bersifat predator dan
kompetitor. Kasus introduksi ikan gabus toraja (Channa striata) di Danau
Sentani, mengancam Ikan gabus asli Danau Sentani. Hal serupa juga terjadi di
Danau Poso dan Malili di Sulawesi Tengah.
Ketiga, ancaman kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh manusia
misalnya : kegiatan pertanian dan pembabatan hutan. Akibat kegiatan pertanian
yang menggunakan pupuk anorganik, limpasannya masuk ke sungai dan danau,
sehingga mencemari dan merusak habitat ikan endemik.
Hal serupa juga akan terjadi akibat pembabatan hutan di hulu
sungai, tepi danau dan daerah tangkapan air. Penurunan populasi ikan endemik di
sungai, danau maupun lubuk-lubuk di Kalimantan dan Sumatera bersumber dari
aktivitas pertanian dan pembabatan hutan secara tidak terkendali. Seharusnya
pemerintah daerah setempat perlu sekali menentukan langkah-langkah kebijakan
yang strategis untuk menghadapi masalah tersebut.
Keempat, proses sedimentasi yang disebabkan oleh limpasan
lumpur dari aktivitas pertanian di tepi danau menyebabkan danau semakin
dangkal. Juga, pembabatan hutan di hulu menyebabkan sungai mengalami
pendangkalan. Otomatis proses sedimentasi yang semakin bertambah setiap
tahunnya mengancam hilangnya habitat ikan endemik. Di Sungai Mahakam akibat
sedimentasi sudah sulit mendapatkan ikan baung dan lais.
Kelima, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.
Kasus yang terjadi di Danau Sentarum, Kalimantan Barat, yakni adanya penggunaan
bubu warin (alat tangkap berukuran mata jaring < 0,5 cm sejak tahun 2000)
menyebabkan turunnya populasi ikan di daerah ini.
Keenam, penyediaan pakan ikan budidaya mengancam kelestarian
ikan endemik. Pengembangan budidaya keramba mengancam ikan endemik Danau
Sentarum karena pakannya diambil dari ikan-ikan kecil di danau ini.
Delapan Kebijakan
Melindungi sumber genetik plasmah nutfah dan mengembangkan
budidaya perikanan darat berbasis ikan endemik memerlukan kebijakan strategis.
Pertama, mengembangkan riset pemuliaan genetik ikan endemik.
Hasil riset ini akan melahirkan bank genetik ikan endemik Indonesia, sekaligus
melindungi plasma nutfahnya.
Kedua, mengembangkan pusat pembudidayaan ikan air tawar
endemik yang mampu menyediakan bibit/benih secara massal baik untuk budi daya
sungai maupun danau atau situ. Pusat-pusat ini dibangun daerah-daerah yang
memiliki keunikan dan keunggulan tersendiri/daerah tempat ikan endemik itu
berasal.
Ketiga, menerbitkan perangkat undang-undang sumberdaya
genetik untuk menangkal pihak asing melakukan bio piracy terhadap komoditas
endemik khas Indonesia. Hukum yang tersedia baru Keppres No. 43 Tahun 1978 yang
menyatakan bahwa jenis ikan yang dilindungi di pulau Kalimantan dan Sumatera
adalah arwana Super Red, Golden Red, Banjar Red, arwana Green (hijau) yang
ditemukan di Taman Nasional Danau Sentarum dan Sungai Kapuas.
Keempat, melestarikan lingkungan kawasan perairan umum
(daerah aliran sungai, danau, situ) dan tangkapan air yang mampu menjamin
ketersediaan air tawar dan mencegah sedimentasi maupun pencemaran air.
Prioritaskan bagi kawasan perairan umum yang sudah memiliki sumber daya ikan
endemik dan terancam punah.
Kelima, mengembangkan alat tangkap yang ramah lingkungan
dari segi jenis, ukuran, maupun variannya. Akan lebih baik menggunakan alat
tangkap yang hanya menyeleksi ikan-ikan endemik yang masuk kategori layak
konsumsi dan jual. Dengan kearifan lokal diharapkan masyarakat yang
bermatapencaharian menangkap ikan akan menyadari pentingnya menjaga kelestarian
ikan setempat.
Keenam, menyeleksi introduksi ikan-ikan non-endemik yang
bersifat predator, kompetitor dan pembawa penyakit yang nantinya mengancam
kelangsungan hidup ikan endemik.
Ketujuh, menyeragamkan pangan berbasis ikan endemik,
contohnya fillet, nugget, bakso ikan dan kerupuk ikan.
Kedelapan, memberdayakan kelembagaan lokal dan kearifan
masyarakat dalam membudidayakan ikan-ikan endemik.
Gagasan yang dipaparkan dalam tulisan ini merupakan langkah
strategis dan politik untuk membangun paradigma baru dan merevitalisasi
kebijakan budidaya perikanan yang selama ini cenderung mengabaikan perikanan
darat.
Hal serupa berlaku juga bagi perairan umum lainnya yang
sudah mengembangkan ikan air tawar berbasis waduk (Jatiluhur, Cirata), danau
serta situ, demi pemenuhan pangan protein. Dengan demikian, bangsa ini akan
berdaulat atas pangan yang bersumber dari ikan endemik, termasuk dalam
penyediaan benih.
Sumber : Pusat
Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim.
0 komentar:
Posting Komentar