Sabtu, 27 Januari 2018

ALAT TANGKAP IKAN RAMAH LINGKUNGAN



ALAT TANGKAP IKAN RAMAH LINGKUNGAN


1.    Pendahuluan
Dalam rangka mewujudkan perikanan tangkap yang berkelanjutan (sustainable fisheries cupture) sesuai dengan ketentuan pelaksanaan perikanan yang bertanggung jawab (FAO Code of conduct for Responsible Fisheries/CCRF) maka eksploitasi sumberdaya hayati laut dilakukan secara bertanggung jawab (Responsible fisheries). Teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan adalah suatu alat tangkap yang tidak memberikan dampat negatif terhadap lingkungan.
Untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan perlu dikaji penggunaan alat-alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan dari segi pengoperasian alat penangkapan ikan, daerah penangkapan dan lain sebagainya sesuai dengan tata laksana untuk perikanan yang bertanggung jawab atau Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Kedepan, trend pengembangan teknologi penangkapan ikan ditekankan pada teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan (environmental friendly fishing tecnology) dengan harapan dapat memanfaatkan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan.

2.    Klasifikasi Alat Penangkapan Ikan di Indonesia
Di Indonesia ada 3 klasifikasi alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan, yaitu :
1. Menurut klasifikasi a. von brandt (1964).
2. Klasifikasi statistik internasional alat tangkap standar FAO.
3. Klasifikasi standar alat tangkap berdasarkan statistik perikanan Indonesia (Anonim, 2007).

3. Kriteria Alat Tangkap Ikan yang Ramah Lingkungan.
Di Indonesia saat ini, telah banyak dikembangkan metode penangkapan yang tidak merusak lingkungan (Anonim. 2006). Selain karena tuntutan dan kecaman dunia internasional yang akan memboikot ekspor dari negara yang sistem penangkapan ikannya masih merusak lingkungan, pemerintah juga telah berupaya untuk melaksanakan tata cara perikanan yang bertanggung jawab. Food Agriculture Organization (FAO, sebuah lembaga di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa yang menangani masalah pangan dan pertanian dunia), pada tahun 1995 mengeluarkan suatu tata cara bagi kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung jawab (Code of Conduct for Resposible Fisheries- CCRF). Dalam CCRF ini, FAO menetapkan serangkaian kriteria bagi teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan. Sembilan kriteria tersebut adalah :
3.1. Alat tangkap harus memiliki selektivitas yang tinggi.
Artinya, alat tangkap tersebut diupayakan hanya dapat menangkap ikan/organisme lain yang menjadi sasaran penangkapan saja. Ada dua macam selektivitas yang menjadi sub kriteria, yaitu selektivitas ukuran dan selektivitas jenis. Sub kriteria ini terdiri dari (yang paling rendah hingga yang paling tinggi):
- Alat menangkap lebih dari tiga spesies dengan ukuran yang berbeda jauh.
- Alat menangkap tiga spesies dengan ukuran yang berbeda jauh
- Alat menangkap kurang dari tiga spesies dengan ukuran yang kurang lebih sama.
- Alat menangkap satu spesies saja dengan ukuran yang kurang lebih sama.
3.2.      Alat tangkap yang digunakan tidak merusak habitat, tempat tinggal dan berkembang biak ikan dan organisme lainnya.
Ada pembobotan yang digunakan dalam kriteria ini yang ditetapkan berdasarkan luas dan tingkat kerusakan yang ditimbulkan alat penangkapan. Pembobotan tersebut adalah sebagai berikut (dari yang rendah hingga yang tinggi):
- Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang luas.
- Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang sempit
- Menyebabkan sebagian habiat pada wilayah yang sempit
- Aman bagi habitat (tidak merusak habitat)
3.3. Tidak membahayakan nelayan (penangkap ikan).
Keselamatan manusia menjadi syarat penangkapan ikan, karena bagaimana pun, manusia merupakan bagian yang penting bagi keberlangsungan perikanan yang produktif. Pembobotan resiko diterapkan berdasarkan pada tingkat bahaya dan dampak yang mungkin dialami oleh nelayan, yaitu (dari rendah hingga tinggi):
- Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat kematian pada nelayan
- Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat cacat menetap (permanen) pada nelayan.
- Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat gangguan kesehatan yang sifatnya sementara
- Alat tangkap aman bagi nelayan
3.4. Menghasilkan ikan yang bermutu baik.
Jumlah ikan yang banyak tidak berarti bila ikan-ikan tersebut dalam kondisi buruk. Dalam menentukan tingkat kualitas ikan digunakan kondisi hasil tangkapan secara morfologis (bentuknya). Pembobotan (dari rendah hingga tinggi) adalah sebagai berikut:
- Ikan mati dan busuk
- Ikan mati, segar, dan cacat fisik
- Ikan mati dan segar
- Ikan hidup
3.5. Produk tidak membahayakan kesehatan konsumen.
Ikan yang ditangkap dengan peledakan bom pupuk kimia atau racun sianida kemungkinan tercemar oleh racun. Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasarkan tingkat bahaya yang mungkin dialami konsumen yang harus menjadi pertimbangan adalah (dari rendah hingga tinggi):
- Berpeluang besar menyebabkan kematian konsumen
- Berpeluang menyebabkan gangguan kesehatan konsumen
- Berpeluang sangat kecil bagi gangguan kesehatan konsumen
- Aman bagi konsumen
3.6. Hasil tangkapan yang terbuang minimum.
Alat tangkap yang tidak selektif (lihat butir 1), dapat menangkap ikan/organisme yang bukan sasaran penangkapan (non-target). Dengan alat yang tidak selektif, hasil tangkapan yang terbuang akan meningkat, karena banyaknya jenis non-target yang turut tertangkap. Hasil tangkapan non target, ada yang bisa dimanfaatkan dan ada yang tidak. Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasarkan pada hal berikut (dari rendah hingga tinggi):
-    Hasil tangkapan sampingan (by-catch) terdiri dari beberapa jenis (spesies) yang tidak laku dijual di pasar.
-    Hasil tangkapan sampingan (by-catch) terdiri dari beberapa jenis dan ada yang laku dijual di pasar.
-    Hasil tangkapan sampingan (by-catch) kurang dari tiga jenis dan laku dijual di pasar.
-    Hasil tangkapan sampingan (by-catch) kurang dari tiga jenis dan berharga tinggi di pasar.
3.7. Alat tangkap yang digunakan harus memberikan dampak minimum terhadap keanekaan sumberdaya hayati (biodiversity).
Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasasrkan pada hal berikut (dari rendah hingga tinggi) :
-    Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian semua mahluk hidup dan merusak habitat.
-    Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian beberapa spesies dan merusak habitat.
-    Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian beberapa spesies tetapi tidak merusak habitat
-    Aman bagi keanekaan sumberdaya hayati
3.8. Tidak menangkap jenis yang dilindungi undang-undang atau terancam punah.
Tingkat bahaya alat tangkap terhadap spesies yang dilindungi undang-undang ditetapkan berdasarkan kenyataan bahwa:
- Ikan yang dilindungi sering tertangkap alat
- Ikan yang dilindungi beberapa kali tertangkap alat
- Ikan yang dilindungi pernah tertangkap
- Ikan yang dilindungi tidak pernah tertangkap
3.9. Diterima secara sosial.
Penerimaan masyarakat terhadap suatu alat tangkap, akan sangat tergantung pada kondisi sosial, ekonomi, dan budaya di suatu tempat. Suatu alat diterima secara sosial oleh masyarakat bila:
(1) biaya investasi murah,
(2) menguntungkan secara ekonomi,
(3) tidak bertentangan dengan budaya setempat,
(4) tidak bertentangan dengan peraturan yang ada.
Pembobotan Kriteria ditetapkan dengan menilai kenyataan di lapangan bahwa (dari yang rendah hingga yang tinggi):
- Alat tangkap memenuhi satu dari empat butir persyaratan di atas
- Alat tangkap memenuhi dua dari empat butir persyaratan di atas
- Alat tangkap memenuhi tiga dari empat butir persyaratan di atas
- Alat tangkap memenuhi semua persyaratan di atas
Bila ke sembilan kriteria ini dilaksanakan secara konsisten oleh semua pihak yang terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan, maka dapat dikatakan ikan dan produk perikanan akan tersedia untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan. Hal yang penting untuk diingat bahwa generasi saat ini memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan ketersediaan sumberdaya ikan bagi generasi yang akan datang dengan pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkesinambungan dan lestari.

4. Alat Tangkap Menurut Klasifikasi Statistik Internasional Standar FAO yang Ramah Lingkungan :
4.1.      Surrounding net (Jaring Lingkar)
Contoh : Jaring Lingkar/Puse seine
Dari sembilan kriteria yang digunakan dalam mengkaji keramahan alat tangkap surrounding net, dua kriteria yang kurang memenuhi sebagai persyaratan puse seine yang ramah lingkungan. Kedua kriteria tersebut adalah :
1. Selektifitas.
Khusus selektifitas ini diperlukan penelitian lebih lanjut terutama untuk mengetahui berapa spesies yang tertangkap dalam satu kali hauling dan ukuran catch (panjang total dan lingkar tubuh) di fishing ground tertentu. Hal ini disebabkan dapat saja diketahui selektifitas yang berbeda pada fishing ground yang berbeda pula.
2. Biaya investasi yang tinggi dalam satu unit penangkapan.
Dari kedua kriteria tersebut dapat diberikan solusi untuk meningkatkan keramahannya, untuk selektifitas diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan kurva selektifitasnya. Biaya investasi yang tinggi dapat diatasi dengan memberdayakan kelompok nelayan,setiap anggota mempunyai saham sesuai dengan jenis dan besarnya kontribusinya.
4.2.      Seine net (Pukat)
Contoh : Pukat pantai/Beach seine
Dari sembilan kriteria yang digunakan dalam mengkaji keramahan alat tangkap pukat pantai, terdapat satu kriteria yang kurang memenuhi sebagai persyaratan puse seine yang ramah lingkungan. Kriteria tersebut adalah : selektifitas, sama halnya dengan puse seine, pukat pantai juga diperlukan penelitian lebih lanjut dalam hal selektifitasnya ukuran catch (panjang total dan lingkar tubuh) pada suatu fishing ground tertentu.
Dari kriteria tersebut solusi yang dapat diberikan untuk meningkatkan keramahannya, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan kurva selektifitasnya.
4.3. Dredge (Penggaruk)
Contoh : Scoop Nets
Pada alat tangkap ini kesembilan kriteria memenuhi persyaratan sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan.
4.4. Falling gear (alat yang dijatuhkan)
Contoh : Jala Lempar/Hand cast nets
Pada alat tangkap jala lempar ini apabila dioperasikan di daerah pasir atau lumpur tidak dioperasikan di daerah karang maka, kriteria yang kurang memenuhi persyaratan sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan, adalah : selektifitasnya rendah, hal ini disebabkan dapat menangkap ikan kecil sampai ikan dewasa yang masuk dalam catchable area alat tangkap ini. Solusi yang dapat diberikan untuk meningkatkan keramahannya ialah diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dan meningkatkan selektifitasnya.
4.5. Gill net, entangling nets (jaring insang dan jaring puntal)
Contoh : Trammel nets
Pada alat tangkap ini delapan kriteria memenuhi persyaratan sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan. Kriteria yang kurang memenuhi persyaratan sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan, adalah : By-catch, target spesies alat tangkap ini adalah udang tetapi juga menangkap ikan.seperti misalnya ikan gulamah. Perlu juga diketahui alat tangkap ini direkomendasikan untuk menggantikan pengoperasian trawl karena dapat menangkap udang dengan efektif. Solusi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keramahannya ialah perbaikan mesh size terutama inner net dari bahan multifilamen.
4.6. Hook and line (pancing).
Contoh : Pancing (Hand line)
Dari semua alat tangkap, yang dibahas dalam makalah ini pancing adalah alat tangkap yang paling selektif dan ramah terhadap lingkungan, sangat memenuhi dari kesembilan kriteria persyaratan sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan.
4.7. Alat tangkap lainnya.
Contoh : Tangan , pisau dan sabit
Alat ini digunakan untuk mengumpulkan rumput laut dan kerang-kerangan. Paling selektif dan ramah terhadap lingkungan, sangat memenuhi kesembilan kriteria persyaratan sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan.


KEAMANAN PANGAN DALAM PENGENDALIAN MUTU HASIL PERIKANAN



KEAMANAN PANGAN DALAM
PENGENDALIAN MUTU HASIL PERIKANAN


1.    Latar Belakang
Ikan dan produk perikanan merupakan salah satu sumber pangan yang sangat penting bagi masyarakat dunia. Diperkirakan konsumsi ikan secara global di masa yang akan datang akan makin meningkat karena beberapa faktor, di antaranya meningkatnya jumlah penduduk serta pendapatan masyarakat dunia; meningkatnya apresiasi terhadap makanan sehat atau healthy food (di antarannya ditandai dengan rendahnnya kandungan kolesterol dan tingginya asam lemak tak jenuh ganda omega-3 serta komposisi asam amino yang lebih lengkap), sehingga mendorong perubahan pola konsumsi daging dari red meat ke white meat; adanya globalisasi yang menuntut adanya makanan yang bersifat universal semisal ikan. (Tampubolon, 2009). Sebelum ikan menjadi produk makanan yang bersifat universal, maka produk perikanan harus melalui persyaratan jaminan mutu yang ketat yang juga bersifat universal atau berlaku di seluruh dunia.
Sebagai produk pangan, ikan tetap dapat menyebabkan permasalahan kesehatan. Ikan dan produk perikanan dapat terkontaminasi sejak dari proses penangkapan / pembudidayaan sampai dengan sesaat sebelum dimakan. Kemungkinan terjadinya kontaminasi pada ikan dan produk perikanan telah mendorong setiap negara untuk melindungi konsumen dengan mengeluarkan kebijakan berupa peraturan dan standar mutu, dimana setiap produk perikanan yang diekspor harus bisa memenuhi persyaratan peraturan-peraturan dan standar mutu di negara tujuan ekspor. Demikian pula sebaliknya, produk perikanan asing yang masuk ke Indonesia harus juga bisa memenuhi peraturan-peraturan dan standar mutu produk di Indonesia.
Beberapa negara yang merupakan produsen utama produk perikanan budidaya. Vietnam, Indonesia, Thailand, Chile, Filipina, Jepang, Amerika Serikat, Republik Korea dan Cina Taipei.

2.   Keamanan Pangan
Menurut Undang-undang Republik Indonesia no. 18/2012 tentang pangan, bahwa keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, sehingga aman untuk dikonsumsi.
Pangan yang tidak aman akan menyebabkan penyakit yang disebut foodborne disease, yaitu segala penyakit yang timbul akibat mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan atau senyawa beracun atau organisme patogen

2.1.  Penyebab Ketidakamanan Pangan
Penyebab ketidakamanan pangan adalah (Baliwati, dkk, 2004):
1.    Segi gizi, jika kandungan gizinya berlebihan yang dapat menyebabkan berbagai penyakit degeneratif seperti jantung, kanker, diabetes.
2.    Segi kontaminasi, jika pangan terkontaminasi oleh mikroorganisme ataupun bahan-bahan kimia.
Penyebab pangan tersebut berbahaya karena, makanan tersebut dicemari zat-zat yang membahayakan kehidupan dan juga karenan didalam makanan itu sendiri telah terdapat zat-zat yang membahayakan kesehatan (Azwar, 1995). Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Sedangkan mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar criteria keamanan pangan, kandungan gizi dan standar perdagangan terhadap bahan makanan dan minuman.
Dalam menanggapi masalah keamanan pangan yang terkait dengan makanan hasil laut, produk ini harus memenuhi standar yang semakin ketat untuk memastikan mutu dan keamanannya.

2.2.  Standar Pangan
Standar pangan umumnya berasal dari Standar Sektor Publik, yang meliputi hukum dan peraturan pangan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Tergantung pada negara, peraturan dapat lebih spesifik sesuai negara itu sendiri, atau berpotensi diterapkan disuatu wilayah (misalnya Uni Eropa) atau blok perdagangan. Negara-negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization – WTO) mengakui Codex Alimentarius Commission sebagai sumber utama untuk standar pangan, pedoman dan dokumen terkait seperti kode praktek. Dokumen Codex seringkali menjadi dasar untuk menyusun hukum dan peraturan spesifik negara yang oleh lembaga pengawasan pangan nasional. Standar Codex mengalami revisi berkesinambungan yang prosesnya diatur oleh kerjasama program standar pangan FAO/WHO. Halaman berikut memberikan sebagian daftar standar Codex yang diterapkan untuk sektor perikanan termasuk budidaya.
  
2.3.  Perundang-Undangan Pangan
Undang-undang pangan pada tahap awal digunakan untuk pencegahan penipuan pada penjualan produk pangan. Seiring berkembangnya jaman, perundang-undangan pangan selanjutnya mencakup keamanan produk pangan atau lebih mengutamakan pertimbangan kesehatan bagi konsumen, sebagai contoh kemanan pangan terkait dengan mikrobiologi yang ada kemungkinan berbahaya pada manusia. Selain itu ada juga standard/peraturan khusus yang ditentukan terkait dengan permasalahan bahaya yang lebih serius, seperti standard pengolahan pangan itu sendiri daripada pencapaian standar mikrobiologinya. Antar negara di belahan dunia menerapkan standard kemanan pangan yang berbeda-beda, hal ini akan menjadikan hambatan pada proses jual-beli produk pangan, perlu adanya penyelarasan perundang-undangan pangan agar semua negara terfasilitasi dalam proses jual-beli produk pangan.
Hukum serta perundang-undangan yang mengatur higiene makanan seperti penggunaan zat aditif serta pelabelan merupakan suatu “Single Act Measures” atau langkah tindakan tunggal yang berarti adalah bagian dari kemajuan menuju pasar tunggal. Langkah-langkah ini terkait dengan pentingnya aliran barang dan jasa secara bebas di pasar internasional. Undang-undang dibuat dengan standar tinggi sebagai fungsi perlindungan konsumen terkait keamanan pangan. Konsumen seharusnya mengetahui secara memadai tentang produk pangan yang beredar, misalnya sifat bahan, asal produk, serta kesesuaian produk dengan syarat yang berlaku.
Di Indonesia, untuk mengatur Keamanan Pangan, pemerintah telah menetapkan peraturan perundangan-undangan yaitu Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, serta Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, Keamanan Pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan  manusia. Mengacu kepada peraturan perundangan tentang keamanan pangan yang dikeluarkan oleh pemerintah ada beberapa hal yang berpengaruh terhadap keamanan suatu produk pangan, yaitu :
1.    Sanitasi Pangan
Perlakuan efektif Sanitasi Pangan dimaksudkan untuk menghilangkan sel vegetatif mikroba yang membahayakan kesehatan, sekaligus mengurangi mikroba lainnya yang tidak diinginkan, tanpa mempengaruhi mutu produk dan keamanan bagi konsumen. Selain itu perlu adanya syarat higiene pada alat, tempat, pekerja, serta sarana lain yang bersangkutan dengan proses produksi pangan.
2.    Penggunaan Bahan Tambahan Pangan
Jenis dan batas maksimum penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) diatur dalam pasal 10 sampai 12 UU No. 7/1996 dan peraturan di bawahnya. Penggunaan BTP harus diatur agar bahaya terhadap kesehatan manusia dapat dicegah. Selain itu dalam Permenkes No. 722/Menkes/PER/IX/88 selain menetapkan BTP yang aman juga menetapkan Bahan Terlarang dan Berbahaya. Untuk menguji keamanan BTP, di tingkat dunia BTP dinyatakan aman oleh suatu badan atau komite ahli yang dibentuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Pangan Dunia (FAO) yang dikenal dengan Joint Expert Committee on Food Additives and Contaminant, disingkat JECFA.
3.    Rekayasa Genetika dan Iradiasi Pangan
Pangan Produk Rekayasa Genetika (PRG)  adalah pangan yang diproduksi atau menggunakan bahan baku, Bahan Tambahan Pangan dan bahan lain yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika. Proses rekayasa genetika adalah proses yang melibatkan pemindahan gen (pembawa sifat) dari suatu jenis hayati ke jenis hayati lain yang berbeda atau sama, untuk mendapatkan jenis baru yang mampu menghasilkan pangan yang lebih unggul. Untuk menjamin keamanan PRG, produsen wajib memeriksakan keamanannya bagi kesehatan manusia sebelum produk tersebut diedarkan ke konsumen.
Iradiasi pangan adalah metode penyinaran terhadap pangan, baik dengan menggunakan zat radioaktif maupun akselerator untuk mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan serta membebaskan pangan dari jasad renik patogen. Proses produksi dengan teknik atau metode iradiasi wajib memenuhi persyaratan kesehatan, penanganan limbah dan penanggulangan bahaya bahan radioaktif. Hal itu penting  untuk menjamin keamanan pangan, keselamatan kerja dan kelestarian lingkungan.
4.    Kemasan Pangan
Menurut UU No.7/1996 tentang Pangan, setiap produsen pangan wajib mengemas produk pangan dengan kemasan yang aman, serta mampu melindungi pangan dari cemaran yang merugikan atau membayakan kesehatan manusia. Kemasan yang baik, mampu memberi perlindungan terhadap produk dari benturan fisik, cahaya, oksigen dan uap air yang dapat memicu pertumbuhan mikroba dan reaksi enzimatik.
5.    Penggunaan Bahan Terlarang dan Berbahaya Pada Produk Pangan
Sesuai dengan Permenkes No. 772/Menkes/PER/IX/88, produsen makanan dilarang menggunakan bahan-bahan yang ditetapkan sebagai bahan terlarang dan berbahaya, antara lain adalah:
1.    Asam Borat (Boraks)
2.    Asam Salisilat
3.    Dietil Pirokarbonat
4.    Dulsin
5.    Formalin
6.    Kalium Bromat
7.    Kalium Klorat
8.    Minyak Nabati yang dibrominasi
9.    Kloramfenikol
10. Nitrafurazon
Berdasarkan jurnal “Pola Resistensi Salmonella typhi yang Diisolasi dari Ikan Serigala(Hoplias malabaricus) terhadap Antibiotik” didapatkan hasil yaitu : Resistensi antibiotic.
Resistensi adalah mekanisme tubuh yang secara keseluruhan membuat rintangan untuk berkembangnya penyerangan atau pembiakan agent menular atau kerusakan oleh racun yang dihasilkannya. Resistensi antibiotika timbul bila suatu antibiotika kehilangan kemampuannya untuk secara efektif mengendalikan atau membasmi pertumbuhan bakteri dengan kata lain bakteri mengalami “resistensi” dan terus berkembangbiak meskipun telah diberikan antibiotika dalam jumlah yang cukup untuk pengobatan.
Resistensi antibiotik meningkat di sejumlah patogen makanan. Hal tersebut ditunjukan pada kasus yang terjadi di Inggris dan Wales pada tahun 1981 dan 1994. Berdasarkan jurnal tentang “Pola Resistensi Salmonella typhi yang Diisolasi dari Ikan Serigala/ ikan ganas(Hoplias malabaricus) terhadap Antibiotik” , dijelaskan bahwa resistensi Salmonella typhi pada ikan menggambarkan dua hal yaitu pertama, bahwa bakteri yang menginfeksi ikan telah resisten sebelumnya. Bakteri ini dapat berasal dari lingkungan dan hospes (manusia dan hewan). Kedua, bahwa bakteri mengalami proses resistensi di dalam tubuh ikan akibat pemberian antibiotik yang kurang tepat dan berkepanjangan. Sedangkan antibiotik streptomycin, gentamycin, dan chlorampenicol memiliki sensitivitas yang tinggi dalam menghambat bakteri S. typhidengan diameter hambat berturut-turut 16 mm, 21 mm dan 25 mm. (Monica et al., 2013)
Strategi untuk menghindari resistensi adalah menemukan inovasi dan antimikroba baru (Devendr et al., 2011). Produksi antibiotika baru yang berasal dari fitofarmaka (tanaman obat) merupakan alternatif yang perlu dipertimbangkan.
Resistensi ini biasanya berawal dari kesalahan diagnosa dalam menentukan antibiotik yang tepat dalam menangani suatu penyakit, selain itu beberapa faktor yang mendukung antara lain :
1.    Penggunaannya yang kurang tepat (irrasional) : terlau singkat, dalam dosis yang terlalu rendah, diagnose awal yang salah, potensi yang tidak kuat.
2.    Penggunaannya untuk hewan dan binatang ternak : antibiotik juga dipakai untuk mencegah dan mengobati penyakit infeksi pada hewan ternak. Dalam jumlah besar antibiotik digunakan sebagai suplemen rutin untuk profilaksis atau merangsang pertumbuhan hewan ternak. Bila dipakai dengan dosis subterapeutik, akan meningkatkan terjadinya resistensi.
3.    Penggunaan monoterapi : dibandingkan dengan penggunaan terapi kombinasi, penggunaan monoterapi lebih mudah menimbulkan resistensi.
4.    Pengawasan : lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam distribusi dan pemakaian antibiotika. Misalnya, pasien dapat dengan mudah mendapatkan antibiotika meskipun tanpa peresepan dari dokter. Selain itu juga kurangnya komitmen dari instansi terkait baik untuk meningkatkan mutu obat maupun mengendalikan penyebaran infeksi (Kemenkes RI, 2011).