Kamis, 28 Januari 2016

HUBUNGAN KUALITAS PERAIRAN DENGAN PRODUKTIFITAS KOLAM



HUBUNGAN KUALITAS PERAIRAN
 DENGAN PRODUKTIFITAS KOLAM

Hubungan suhu dengan produktifitas kolam
Suhu merupakan faktor fisik yang sangat penting di air, karena bersama-sama dengan zat/unsure yang terkandung didalamnya akan menentukan massa jenis air, dan bersama-sama dengan tekanan dapat digunakan untuk menentukan densitas air.

Secara langsung suhu berperan dalam mengontrol reaksi enzimatik dalam proses fotosintetis, sehingga tingginya suhu dapat meningkatkan laju maksimum fotosintesis. Sedangkan secara tidak langsung, misalnya suhu berperan dalam membentuk stratifikasi kolom perairan yang akibatnya dapat mempengaruhi distribusi vertikal fitoplankton (Mahmuddin, 2009).

Kelarutan berbagai jenis gas di dalam air semua aktivitas biologis dan fisiologis di dalam ekosistem sangat dipengaruhi oleh suhu. Suhu mempunyai pengaruh yang besar terhadap kelarutan oksigen di dalam air, apabila suhu air naik maka kelarutan oksigen di dalam air menurun (Sastrawijaya, 2000 dalam Sinaga, 2009).

Hubungan pH dengan produktifitas kolam
Organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang sangat rendah akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Disamping itu pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam yang bersifat  toksik semakin tinggi yang tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme akuatik. Sementara pH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara ammonium dan ammoniak dalam air akan tergangu, dimana kenaikan pH  di atas netral akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat sangat toksik bagi organisme (Barus, 2004, hlm: 60). Derajat keasaman perairan tawar berkisar dari 5-10 (Dirjen DIKTI Depdikbud, 1994, hlm: 12). Setiap organisme mempunyai pH yang optimum bagi kehidupannya. Perkembangan alga Cyanophyceae akan sangat jarang dalam perairan apabila pH dibawah 5 (Shubert, 1984, hlm: 401- 403).

Hubungan kecerahan dengan produktifitas kolam
Kecerahan menurut Raharja (1997) adalah ukuran transparansi perairan yang dapat diamati secara visual dengan menggunakan alat bantu yang disebut secchi disc maka perairan yang kecerahannya baik akan memberi pengaruh yang baik pula terhadap daya tembus sinar matahari di perairan tersebut yang berguna bagi proses fotosintesis. Kedalaman suatu perairan merupakan salah faktor yang membatasi kecerahan suatu perairan. Kecerahan juga sangat ditentukan oleh intensitas cahaya matahari dan partikel-partikel organik dan anorganik yang melayang-layang di kolom air (Sidabutar dan Edward, 1995).

Menurut Nybakken (1992) dalam Siagian (2009),  menyatakan bahwa adanya zat-zat tersuspensi dalam perairan akan menimbulkan kekeruhan pada perairan tersebut dan kekeruhan ini akan mempengaruhi ekologi dalam hal penurunan cahaya yang mencolok. Penetrasi cahaya sering dihalangi oleh zat yang terlarut dalam air, membatasi zona fotosintesa dimana habitat akuatik dibatasi oleh kedalaman. Kekeruhan terutama disebabkan oleh lumpur dan partikel yang dapat mengendap. Sebaliknya, bila kekeruhan disebabkan oleh fitoplankton, ukuran kekeruhan ini merupakan indikasi produktifitas (Odum, 1993).

Hubungan plankton dengan produktifitas kolam
Produktivitas primer dalam bentuk plankton dianggap salah satu unsur yang penting pada salah satu mata rantai perairan. Plankton-plankton yang ada dalam perairan akan sangat berguna dalam menunjang sumberdaya ikan, terutama dari golongan konsumen primer. Densitas dan diversitas fitoplankton dalam perairan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tersebut. Densitas fitoplankton akan tinggi apabila perairan yang didiami subur (Boyd 1982).

Hubungan DO dengan produktifitas kolam
Disolved oxygen (DO) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen sangat dipengaruhi terutama oleh faktor suhu. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air, yaitu sebesar 14,16 mg/l O2. Konsentrasi ini akan menurun sejalan dengan meningkatnya suhu air. Dengan peningkatan suhu akan menyebabkan konsentrasi oksigen akan menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah akan meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut semakin tinggi (Barus, 2004).

Sumber utama oksigen terlarut dalam air adalah penyerapan oksigen dari udara melalui kontak antara permukaan air dengan udara, dan dari proses fotosintesis. Pengaruh oksigen terlarut terhadap fisiologi organisme air terutama adalah dalam proses respirasi. Nilai oksigen terlarut di suatu perairan mengalami fluktuasi harian maupun musiman. Fluktuasi ini selain dipengaruhi oleh perubahan temperatur juga dipengaruhi oleh aktifitas fotosintesis dari tumbuhan yang menghasilkan oksigen (Schwrobel, 1987 dalam Barus, 2004). Nilai DO yang berkisar antara 5,45-7,00 mg O2/l cukup baik bagi proses kehidupan biota perairan. Nilai oksigen terlarut di perairan sebaiknya berkisar antara 6-8 mg O2/l (Barus, 2004).

Tingginya produktivitas primer pada air kolam dipengaruhi oleh kadar DO pada perairan tersebut. Kadar DO dalam air kolam itu sendiri dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan tersebut, dimana intensitas cahaya sangat mempengaruhi proses fotosintesis yang dilakukan oleh biota perairan, misalnya ganggang dan fitoplankton. Dari hasil proses fotosintesis tersebut, dihasilkan oksigen. Sehingga oksigen yang terlarut inilah yang mempengaruhi besar atau kecilnya kadar DO dalam perairan tersebut. Dengan diketahuinya kadar DO menggunakan metode botol terang dan botol gelap, maka produktivitas primer air kolam dapat diketahui.

Hubungan antara pupuk dengan produktifitas kolam
Pupuk merupakan salah satu sumber atau tambahan nutrient dan zat hara yang dapat digunakan pada kolam. Zat hara memiliki peran yang penting dalam pertumbuhan produktivitas primer, dengan banyaknya kelimpahan zat hara pada suatu perairan maka akan dapat memacu pertumbuhan produktivitas primer, karena zat hara sangat di perlukan untuk pertumbuhan produktivitas primer khususnya bagi pertumbuhan fitoplankton. Elemen-elemen nutrien utama yang dibutuhkan dalam jumlah besar adalah karbon, nitrogen, fosfor, oksigen, silikon, magnesium, potassium, dan kalsium, sedangkan nutrien trace element dibutuhkan dalam konsentrasi sangat kecil, yakni besi, copper, dam vanadium (Levinton, 1982). Menurut Parsons et al. (1984), alga membutuhkan elemen nutrien untuk pertumbuhan.  Beberapa elemen seperti C, H, O, N, Si, P, Mg, K, dan Ca dibutuhkan dalam jumlah besar dan disebut makronutrien, sedangkan elemen-elemen lain dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit dan biasanya disebut mikronutrien atau trace element.

Pada beberapa ekosistem terrestrial, nutrient organic merupakan faktor pembatas yang penting bagi produktivitas. Produktivitas dapat menurun bahkan berhenti jika suatu nutrient spesifik atau nutrient tunggal tidak lagi terdapat dalam jumlah yang mencukupi. Nutrient spesifik yang demikian disebut nutrient pembatas (limiting nutrient). Pada banyak ekosistem nitrogen dan fosfor merupakan nutrient pembatas utama, beberapa bukti juga menyatakan bahwa CO2 kadang-kadang membatasi produktivitas. Sehingga dapat diketahui bahwa pupuk factor penting bagi sumber nutrient yang sangat mempengaruhi produktifitas kolam.


DAFTAR PUSTAKA
Barus, T.A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan.
Boyd, C. E., 1982.  Water Quality in Ponds for Aquaculture.  Birmingham Publishing Co.  Birmingham, Alabama.
Campbell, N. A., J. B. Reece, L. G. Mitchell. 2002. Biologi (terjemahan), Edisi  Ekologi. http://hal.125-132/pembelajaranekologi_2.pdf. Diakses pada 29 kelima Jilid 3. Jakarta: Penerbit Erlangga. Medan: USU Press Mei 2012
Siagian, Cypriana. 2009. Keanekaragaman dan Kelimpahan Ikan serta Keterkaitannya dengan Kualitas Perairan di Danau Toba Balige Sumatra Utara
Siberu, Paskalis, Dr. M.Pd. 2002. Jurnal Pendidikan Penabur : Pembelajaran

Rabu, 27 Januari 2016

FASE- FASE KEMUNDURAN MUTU IKAN




FASE- FASE KEMUNDURAN MUTU IKAN

Menurut Nurjannah et al, (2004) fase-fase kemunduran mutu ikan adalah:
-       Tahap prerigor terjadi selama 2 jam setelah ikan dimatikan. Tahap ini ditandai dengan jaringan daging ikan yang mash lembut dan lentur serta adanya lapisan bening di keliling tubuh ikan yang terbentuk oleh peristiwa pelepasan lendir dan kelenjar bawah kulit.
-       Tahap Rigormortis terjadi selama10 jam setelah ikan dimatikan dengan daging yang kaku.
-       Nilai 5 merupakan ambang batas kesegaran ikan. Cirri-ciri ikan yang memiliki nilai 5 adalah sebagai berikut: bola mata agak cekung, pupil keabu-abuan karena agak keruh. Insang menampakkan diskolorasi merah muda dan berlendir. Sayatan daging mulai pudar banyakkemerahan. Pada tulang belakang bau seperti bau asam, konsistensi agak lunak, mudah menyobek daging dari tulang belakang.
Proses perubahan ikan setelah mati terjadi karena aktivitas enzim, mikroorgnisme dan kimiawi. Ketiga hal tersebut menyebabkan tingkat kesegaran ikan menurun.Penurunan tingkat kesegaran ikan ini terlihat dengan adanya perubahan fisik, kimia dan organoleptik pada ikan. Setelah ikan mati, berbagai proses perubahan ini akhirnya ,mengarah pada pembusukan. Urutan proses perubahan yang terjadi pada ikan adalah perubahan prerigor, rigor, aktivitas enzim, aktivitas mikroba dan oksidasi.

Perubahan-Perubahan Ikan Setelah Mati
1. Aspek Fisik
Menurut Adawiyah (2007), kesegaran ikan dapat dilihat dengan metode yang sederhana dan lebih mudah dibandingkan dengan metode lainnya dengan kondisi fisik, yaitu:
1.    Kenampakan luar : ikan yang masih segar mempunyai penampakan erah dan tidak suram.
2.    Lenturan daging ikan: daging ikan segar cukup lentur jika dibengkokkan dan akan segera kembali ke bentuknya semula apabila di lepaskan.
3.    Keadaan mata: perubahan kesegaran ikan akan menyebabkan perubahan nyata pada kecerahan matanya.
4.    Keadaan daging : kualitas ikan ditentukan oleh daging nikan yang masih segar dan berdaging kenyal. Jika ditekan dengan telunjuk maka bekasnya akan segera kembali.
5.    Keadaan insang : ikan yang masih segar berwarna merah.
Secara fisikawi daging ikan mula-mula akan kehilangan kelenturannya. Kemudian akan mengerut dan menjadi kaku lalu melemas lagi. Pada fase rigor, daging akan tampak kering karena kehilangan daya menahan air. Pada fase terakhir, struktur daging ikan sudah mengalami kerusakan (Hadiwiyoto, 1993)

Menurut Murniyati dan sunarman (2000), ikan yang elah mengalami pembusukan menampakkan cirri-ciri fisik yang dapat dikenali dari luar. Adapun yang membedakan antara iakn segar dan ikan busuk adalah pada ikan segar, mata Nampak bening, cerah, cembung dan menonjol. Sedangkan pada ikan busuk, berwarna pudar, berkerut, cekung dan tenggelam.

2. Biokimia
Menurut Adawiyah (2007), setelah ikan ditangkap dan dalam air ikan tidak langsung menjadi mati perubahan biokimia yang terjadi sebelum ikan menjadi kaku. Pada saat itu yang banyak mengalami perubahan adalah pembakaran ATP dan Kreatin fosfat yang akan menghasilkan tenaga.

Aktivitas enzim pada tubuh hewan setelah mati untuk beberapa saat masih aktif meskipun dalam aspek yang berbeda dengan saat masih hidup.Saat suplai oksigen ke jaringan bereaksi, maka reaksi enzimatis berlangsung dalam kondisi anaerobic.Kondisi ini berlangsung searah dimana pH daging ikan mendekati normal (Sumardi, 2000).

3.  Mikrobiologi
Proses pengawetan ikan dapat dilakukan secara biologis proses ini disebut proses isiling. Isiling sudah banyak digunakan untuk mengawetkan bahan-bahan alami secara mudah,sederhana dan aman serta akan memperbaiki sifat-sifat organoleptik bahan pangan (Suriawira 1995 dalam Rostini 2007)

Setelah ikan mati, mikroba-mikroba yang terdapat secara alamiah pada ikan khususnya bakteri aqkan tumbuh dengan cepat sekali sehingga ikan akan semakin cepat mengalami penurunan nmutu. Disamping ditemukan pada tubuh ikan sehingga penurunan mutu ikan akan dapat pula ditemukan pada tubuh ikan sehingga penurunan mutu ikan akan semakin cepat (Rahayu et al, 1999). Akibat serangan bakteri, ikan mengalami berbagai perubahan yaitu dari venolois menjadi pekat, bergetah, amis. Mata terbenam, pudar sinarnya serta insang berubah warna dengan susunan tidak teratur dan berbau busuk. Bakteri-bakteri tersebut menyerang tubuh ikan mulai dari insang atau luka yang terdapat pada kulit (Junianto, 2003)

Faktor yang Mempengaruhi Kemunduran Mutu Ikan
Menurut Adawiyah (2007), ikan segar dapat diperoleh jika penanganan dan sanitasi yang baik. Semakin lala ikan dibiarkan setelah ditangkap tanpa penanganan yang baik, maka akan menurunkan kesegaran mutu ikan tersebut.

Factor-faktor intrinsik yaitu mempengaruhi mutu ikan tangkapan antara lain: lokasi tangkapan, musim, metode penangkapan atau yang lain sebagainya, penanganan ikan diatas kapal, kondisi kebersihan kapan penangkapan ikan, pemrosesan dan kondisi penyimpanan (Jica, 2008)

Menurut Sumardi,(2000) beberapa faktor yang mempengaruhi laju perubahan yang dikelompokkan menjadi dua faktor , yaitu :
a.  Faktor intrinsik
Spesies ikan, ukuran besar kecilnya, jenis kelamin dan tingkat kedewasaan.
b.  Faktor Ekstrinsik
Jenis alat tangkap, keadaan cuaca, letak geografi, cara handling.

Kerusakan Selama Penanganan Ikan
1.   Luka dan Memar
Memar yang dialami oleh bahan pangan yang disebabkan karena dipukul, tergantung atau tergencet.Ikan yang meronta sesat belum mati atau pedagang yang membanting ikan agar segera mati telah menyebabkan ikan mengalami memar.Semua upaya mematikan agar ikan mudah untuk disiangi. Bahan pangan yang memar akan menyebabkan peningkatan aktivitas enzim proteolitik (Afrianto, 2000)

Penyimpanan dalampeti-peti yang tepat adalah sebuah lapisan es kira-kira setebal 5 cm harus ditempatkan dibagian bawah peti, kontak langsung antara ikan dan peti harus dihindari. Peti tersebut tidak boleh di isi terlalu penuh karena dapat menyulitkan penyusunan ikan (Jica,2008)

 2.   Burst Belly
Menurut sintef (2006), Belly Bursting terjadi selama pemberian pakan yang berlebih dan jika parah keadaannya dapat membuat ikan tak layak di konsumsi oleh manusia dalam beberapa waktu.Hambatan utama dari sector pelagis adalah deteroration dari bahan mentah yang menyebabkan belly bursting.

Tubuh ikan banyak mengandung mikroba terutama di bagian permukaan kulit, insang dan bagian pencernaan ikan yang tertangkap dalam keaadaan perutnya kencang. Maka disaluran pencernaan banyak mengandung enzim pencernaan (Afrianto,2000)

3.    Gaping
Menurut Margeirsson et al., (2006) selama beberapa tahun terahir, empasi bertambah yang mana menyebabkan bertambahnya rasio pora, filet. Bagaimanapun penelitian tentang ikan cod dalam penangkapan maupun pengolahannya di temukan gaping yang rendah dalam ikan cod besar dan pada ikan cod kecil.

Kekacauan otot yang terjadi setelah ikan mati berpengaruh terhadap teknologi karena proses tersebut mempengaruhi mutu filet. Idealnya, ikan difilet setelah proses kekakuan berhenti. Apabila ikan difilet dipisahkan dari tulang sebelum proses pengkakuan berlangsung otot akan berkontraksi secara bebas sehingga filet akan menendak pada proses pengkakuan berlangsung. Fenomena ini disebut perumpangan (gaping) (Jica,2008).

4.    Melanosis
Menurut Shields (2007), melanosit utama yang dialami konjungtiva adalah melanosis serius dan potensial yang berupa luka dan dapat makin parah dengan membentuk melanoma. Dalam penelitian dalam onkologi okuler, PAM dihitung dari 11% dari tumor konjungtival dan 21% dari luka melanosit.

Pembentukan bintik – bintik atau melanosis adalah masalah yang ditemukan pada kebanyakan udang, lobster dan jenis – jenis crustasea lain yang diperdagangkan yang banyak menimbulkan dampak negative terhadap nilai komersial dan penerimaan konsumen terhadap produk tersebut (Jica,2008).

Sumber :
Adawyah , R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara : Jakarta.

Devies. 2009. Traditional Improved Fish ProcessingTechnologies in Bayaeka State Negeria. European Journal of Scientific Research
Djunarti , Susijahadi dan Y. Witono. 2004. Studi Pembuatan Ikan Pindang Siap Saji Berdaya Simpan Tingggi. Seminar Nasional dan Kongres PATPI.
DKP .2003. Pengolahan Ikan dan Hasil Laut.Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Muchtadi. 2002. Ilmu Pengetahuan Bahan. IPB: Bogor
Munandar, A ., Nurjanah dan Mola N. 2005. Kemunduran Mutu Ikan Nila Pada Penyimpan Suhu Rendah dengan Perlakuan Cara Kematian dan Penyiangan .Jurnal Teknologi Hasil Perikanan Indoneseia vol. XII Nomor. 2. 2009.
Nurjanah, Setyaningsih, Sukarno dan M. Muldani. 2004. Kemunduran Mutu Ikan Nila Merah (Oreochromis sp) Selama Penyimpanan Pada Suhu Ruang. Buletin THP. Volume VII no I.
Pramitasari; Sulistyani Dyah. 2005. Modul untuk Pengembangan Mata Kuliah Manajemen Pelabuhan Perikanan. UNDIP: Semarang.
Putra dan Eka. 2009. Summary Desain Sistem Isolasi Ruang Penyimpanan es dan Ikan Untuk Kapal Ikan 30 6Y: ITS.
Shields, Jerry A. 2007.Primary Aquaried Melanosis of the Conjunctiva Trans an Optimal Soe vol 105.
Sinter. 2006. Belly bursting in Pelagic Fish. North Sea Center Hume Tank, Hirtshals
Widiastuti, Indah. 2010. Analisis Mutu Ikan Tuna Selama Lepas Tangkap pada perbedaan Preparasi dan Waktu Penyimpanan IPB: Bogor
Widiastuti, Indah. 2010. Analisis Mutu Ikan Tuna Selama Lepas Tangkap pada perbedaan Preparasi dan Waktu Penyimpanan IPB: Bogor
Zainul, Choliq dan Baheramsyah Alam. 2004. Simulasi Unjuk Kerja Sistem Refrigrasi Absorpsi Pada Kpal Perikanan FTK-ITS: Surabaya